Pertarungan Kekuasaan di dalam Sepak Bola Indonesia, Dilihat dari Sanksi FIFA

Sepak bola telah menjadi olahraga yang sangat populer di dunia ini, banyak orang telah memainkannya dan menjadi bagian dari kelompok pendukung suporter sepak bola. Diperkirakan sekeitar 210 juta penduduk dunia, 150 juta adalah penduduk Asia sangat mengemari dan memainkan olahraga sepak bola.[1] Salah satunya adalah Indonesia yang mempunyai jumlah pendukung tim sepak bola terbesar se Asia Pasifik dan terbesar no tiga di Asia menurut data kompas dan merdeka.com. Berbicara tentang data, saya mengambil dari kompas.com pada saat piala dunia 2010, sekitar 54 persen dari penduduk Indonesia sangat menyukai olahraga sepak bola, dengan rata-rata 68 persen laki-laki dan 32 persen adalah perempuan.[2]
Foto diambil : https://www.google.co.id/search?q=pertarungan+pssi+vs+menpora&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjcm8eplZ_LAhXHB44KHa47Ao0Q_AUICCgC&biw=1242&bih=554#imgrc=jToW5bR_XLFyEM%3A


Memiliki jumlah pendukung sepak bola yang besar tidak lantas menjadikan sepak bola di Indonesia memilik banyak prestasi di kancah internasional. Hanya satu yang bisa dibanggakan oleh sepak bola Indonesia ketika tim U19 berhasil menjuarai piala AFF, dan bisa lolos ke fase piala Asia setelah mengalahkan tim besar Korea Selatan. Akan tetapi yang terjadi tim U 19 yang diharapkan dapat sukses menjuarai piala Asia, dan diharapkan lolos di piala Dunia U 20, namun yang terjadi, pada pertandingan tersebut timnas U 19 mendapatkan hasil yang sangat jauh dari harapan para pecinta sepak bola Indonesia. Bila kita kembali lagi pada kompetisi yang terjadi di Indonesia sampai liga yang paling bawah, ada banyak permasalahan yang sejak lama dibiarkan saja oleh pemerintah maupun organisasi sepak bola tertinggi di Indonesia yaitu PSSI. Seperti yang terjadi dengan masalah tunggakan gaji pemain di dalam  Indonesia Super League (ISL) dan Liga Divisi Utama, yang berujung pada pengaturan skor dalam permainan sepak bola yang terjadi  di liga Indonesia. Sungguh sangat menarik bila kita melihat fenomena-fenomena tersebut, sepak bola yang seharusnya mengedepankan sebuah rasa sportifitas yang tinggi, akan tetapi yang terjadi di dalam liga sepak bola Indonesia semua itu tidak ada artinya. Mengapa demikian? Bila mengutip dalam acara Mata Najwa, pada acara buka-bukaan sepak bola Indonesia, hampir seluruh pertandingan sepak bola Indonesia, khusunya liga Divisi Utama telah di atur kemenenanganya, dari jumlah gol sampai menit terjadinya gol sudah di atur oleh pihak-pihak tertentu. Dengan imbalan sejumlah uang, kepada pemain dan official klub yang telah menjalin kesepakatan dengan pihak tersebut. Bukan  sampai disitu saja, juara liga Indonesia pun sudah ditentukan siapakah yang akan menjadi juara liga.[3]bukan hanya sebatas liga saja, kan tetapi pertandingan timnas U23 pada putaran SEA Games pun disyalir ada pengaturan skor yang menyebabkan nyebabkan Sungguh sangat miris, ditengah eurforia yang cukup besar, dan mendapatkan predikat negara dengan jumlah penggemar sepak bola yang paling banyak, akan tetapi yang terjadi adalah sepak bola di negera sendiri seakan-akan hanya untuk permainan oknum-oknum tertentu yang ingin mendapatkan keuntungan dari sepak bola Indonesia.
PSSI sebagai organisasi tertinggi sepak bola di Indonesia seakan-akan menutup mata dengan hal tersebut, dengan anggapan bahwa berita-berita tersebut hanya sebuah wacana yang beredar di dalam masyarakat. Saya akan mengambil contoh kasus yang paling popular di tahun 2013, yaitu sepak bola gajah anatara PSS Sleman dan PSIS Semarang, kasus tersebut sangat menyita banyak perhatian media dalam maupun luar negeri, akan tetapi kasus tersebut hanya berhenti pada hukuman pemain dan pelatih, tanpa mencari ujung siapa pelaku sebenarnya. Sangat miris bila kita melihat fenomena seperti itu, lagi-lagi pemain dan pelatih yang mencari korban.
Puncak dari segala permasalahan sepak bola Indonesia adalah pembekuan PSSI oleh KEMENPORA yang berujung pada sanksi FIFA terhadap Indonesia. Berawal dari dualisme liga pada tahun 2011 yang berujung dengan dualisme Arema dan Persebaya. pada saat itu KEMENPORA sangat mengingikan bahwa klub-klub liga untuk memenuhi aturan yang diberikan BOPI ( Badan Olahraga Profesional Indonesia), agar klub-klub peserta ISL (Indonesia Super Leugue), yang pada saat itu berubah nama menjadi QNB (Qatar National Bank) league utuk memenuhi syarat –syarat adminitrasi, sehingga PSSI menunda jadwal kick off. Permasalahan bukan selesai sampai masalah administrasi klub saja, BOPI masih meminta klub Arema dan Persebaya untuk tidak diikutkan dalam liga, karena dengan alasan bahwa klub-klub tersebut masih mempunyai masalah dengan dualisme klub di dalam liga. Namun yang terjadi adalah, PSSI tetap menolak aturan yang diberikan BOPI, dan tetap ingin melanjutkan Liga yang didanai Oatar National BANK tersebut.[4] akhirnya tepat pada tanggal 17 April Menteri Olahraga menjatuhkan sanksi kepada PSSI, bahwa Menpora tidak mengakui keberadaan PSSI, dan tidak mengakui KLB ( konggres Luar Biasa) PSSI yang memilih La Nyalla Mahmud Mattalitti sebagai ketua PSSI.[5] Pertentangan mulai terjadi saat pembekuan PSSI oleh kemenpora, perlawan demi perlwanan diberikan oleh kubu PSSI kepada Menpora. Sepak bola bukan lagi pertempuran antara dua klub yang bertanding untuk menentukan kemenangan, akan tetapi pada sepak bola Indonesia yang terjadi pertempuran dua kubu besar yang diisi oleh orang-orang politik yang ingin mendapatkan pengakuan dari FIFA maupun Negara. Oleh sebab itu tepat di tanggal 30 Mei 2015, FIFA menjatuhkan sanksi kepada PSSI, karena terjadi intrvensi yang menyebabkan PSSI tidak independen lagi dalam melakukan pengurusan. Sehingga yang ditimbulkan dari sanksi FIFA tersebut adalah, Indonesia kehilangan hak keanggotaan mereka, dan seluruh tim maupun klub seoak bola Indonesia dilarang tampil pada kompetisi yang diadakan oleh FIFA maupun AFC. Sanksi tersebut juga berimbas pada pelarangan anggora dan offisial menerima keuntungan dari FIFA dan AFC, seperti program pengembangan, kursus, atau pelatihan pada saat sanksi masih berlangsung.[6]
Sejak dibelangsungnya sanksi FIFA, dampak yang terjadi adalah bukan hanya klub dan Timnas sepak bola tidak boleh berlaga di ajang kompetisi yang diselengarakan oleh FIFA maupun AFC, akan tetapi sepak bola Indonesia sudah mulai kehilangan sponsor-sponsor yang selama ini memberikan dukungan finasial terhadap sepak bola Indonesia, termasuk bisnis yang terdapat pada Industri media yang setiap saat menyairkan pertandingan sepak bola Timnas maupun klub-klub sepak bola Indonesia, disamping itu juga kunjungan-kunjungan klub sepak bola Eropa ke Indonesia juga terancam gagal, karena sanksi yang diberikan oleh FIFA tersebut.[7]
Tanggapan mulai muncul, ketika terjadi polemik yang terjadi antara Mempora dan PSSI, silang pendapat terjadi antara elite-elite yang berkuasa dalam menanggapi pembekuan PSSI oleh Menpora. Perbedaan yang paling kelihatan adalah tanggapan Wakil Presiden dengan Presiden dalam menanggapi permasalahan tersebut. Pihak Wakil Presiden menanggapi hal tersebut dengan, menyuarakan agar Mempora segera mencabut sanksi pembekuan PSSI oleh Kemenpora agar terbebas dadi sanksi FIFA, sehingga roda kompetis bisa dijalankan kembali.[8]Namun hal yang sanggat berbeda, ketika Presiden Jokowi mendukung langkah FIFA yang memberikan sanksi kepada Sepak bola Indonesia, dengan alasan  sanksi FIFA adalah momentum langkah awal dalam membenahi sepak bola Indonesia untuk lebih baik lagi, Presiden melihat bahwa selama ini pertandingan yang di mainkan Tim sepak bola Indonesia selalu kalah di pertandingan internasional, tanpa ada kemajuan yang berarti.[9]
Kisruh antara PSSI dan Menpora di tanggapi oleh DPR lewat komisi IX yang membidangi masalah pendidikan, sejarah dan olahraga[10]dengan mengundang Komite Ad-Hoc bentukan FIFA yang diketuai oleh Agum Gumelar, untuk membahas kelanjutan penyelesaian kasus pembekuan PSSI oleh Menpora. dalam inti pertemuan tersebut pihak DPR menginginkan Menpora untuk segera mencabut pembekuan terhadap PSSI, agar nantinya pertandingan sepak bola pada event Asian Games yang bakal diselengarakan di Di Indonesia dapat di ikuti oleh Timnas Indonesia.[11]
 Dari penjelasan di atas memang sangat menarik, bila ada pertarungan politik di dalam tubuh sepak bola semakin terlihat, ketika sanksi FIFA diberikan kepada sepak bola Indonesia. Banyak pihak yang ingin masuk dalam situasi ini. Bila melihat secara gamblang yang terdapat di dalam kubu PSSI maupun di dalam kubu Menpora, seakan-akan ini adalah dua pertarungan dua kubu koalisi yang terdapat pada pemerintahan yang saling berseberangan. Bila kita mengacu dari statuta PSSI No 5 yang berisi PSSI netral terhadap hal politik dan agama,[12] ini perlu di pertanyakan kembali. Komposisi yang menjadi penggurus pusat PSSI adalah orang-orang yang berkecipung didalam partai politik, dan duduk di kursi parlemen. Menarik pada hal ini, olah raga sepak bola yang seharusnya adalah permainan rakyat, hanya di jadikan pertarungan oleh segilintir orang-orang yang mengaku sebagai wakil rakyat. Ada banyak pertarungan kekuasaan didalam tubuh sepak bola Indonesia, sehingga yang terjadi adalah banyak pihak. selanjutnya adalah, kita melihat bahwa pedebatan sanksi FIFA hanya berhenti pada imbas sanksi FIFA terhadap kelangsungan sepak bola Indonesia. Namun semua para elite yang bertarung seakan-akan melupakan banyak permasalahan yang terjadi di dalam tubuh sepak bola Indonesia, seperti permasalahan gaji pemain yang belum terbayar di liga-lga sebelumnya, masalah mafia judi yang berujung pada pengaturan skor, sepak bola gajah PSS vs PSIS Semarang yang belum ketemu otak pelakunya, Politisasi yang di lakukan oleh anggota PSSI, transparasi dana sponsor media, maupun sponsor yang mendukung sepak bola yang di lakukan oleh PSSI. Semua Fenomena tersebut hanya berhenti sebagai wacana, tanpa ada tindak lanjut yang berarti, sehingga yang terjadi adalah pengulangan-pengulangan kasus yang sama ketika sepak bola Indonesia di gulirkan kembali.




[1] Bob Stewart , The Games Are Not the Same “The Political Economy of Football in Australia” Melbourne, MELBOURNE UNIVERSITY PRESS,2007, hal 3
[2] http://bola.kompas.com/read/2010/06/10/15121934/Indonesia .Penggemar.Bola.Terbanyak.Se-Asia.Pasifik. diakses pada tanggal 22 Februari 2016,18.47
[3] https://www.youtube.com/watch?v=0pgK56qyIeE
[12]  Statuta Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, Edisi Revisi Tahun 2011


Daftar Pustaka

Daftar Pustaka
Bob Stewart , The Games Are Not the Same “The Political Economy of Football in Australia” Melbourne, MELBOURNE UNIVERSITY PRESS,2007
Statuta Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, Edisi Revisi Tahun 2011

Internet
http://bola.kompas.com/read/2010/06/10/15121934/Indonesia .Penggemar.Bola.Terbanyak.Se-Asia.Pasifik. diakses pada tanggal 22 Februari 2016,18.47

Comments