Minggu pagi, istriku membangunkanku dengan suara lembut. “Mas, jadi ikut Hash, nggak?” tanyanya. Mata setengah terbuka, aku melirik jam waker di samping tempat tidur. Jarum pendek menunjuk angka lima, dan jarum panjang hampir di angka enam. Setengah enam pagi. Aku langsung melompat dari kasur dan mengintip dari balik jendela.
Dari
situ, aku melihat peserta Hash mulai berjalan menjauh dari balai, yang
kebetulan berada persis di depan rumah kami. Dengan panik, aku menyadari satu
hal—aku mengira acara dimulai pukul enam, ternyata jadwalnya setengah jam lebih
awal. Ah, pasrah sudah. Sepertinya bulan ini aku harus absen.
Namun,
belum sempat kekecewaan itu larut, ponselku berbunyi. Nama Mas Punto muncul di
layar. “Mas, jadi ikut Hash nggak? Kalau jadi, aku tunggu.” Tanpa pikir
panjang, aku langsung menjawab, “Iya, Mas, ikut!”
Tanpa
mandi, tanpa gosok gigi, aku dan istriku langsung berganti pakaian olahraga.
Aku pakai smartwatch, sepatu lari, dan mengambil botol minum. Beberapa menit
kemudian, kami sudah berada di depan Balai. Mas Punto sudah menunggu.
Tanpa basa-basi, kami bertiga langsung memacu langkah, mengejar peserta lain
yang sudah lebih dulu berangkat.
Kami
tertinggal sekitar 15 menit, jadi langkah kami agak cepat. Sepanjang jalan,
kami melewati hamparan sawah hijau yang menghembuskan udara pagi yang sejuk.
Bau tanah basah dan suara gemericik air di selokan kecil menyapa indra kami.
Dalam hati, aku berharap pemandangan seperti ini masih bisa dinikmati sepuluh
tahun lagi. Jangan sampai, pikirku, desa kami ikut tergusur oleh pembangunan
yang semakin merajalela, seperti yang terjadi di tempat lain di Jogja.
Obrolan
kami dengan Mas Punto mengalir santai, membahas banyak hal—dari kegiatan Hash
sampai kenangan masa kecil. Tak terasa, kami berhasil menyusul beberapa peserta
yang lebih dulu berangkat.
Perjalanan
membawa kami ke sebuah kawasan rindang yang penuh pohon besar. Di atasnya,
burung kuntul kerbau bersarang dengan damai. Mas Punto dan istriku, Ida,
bercerita bahwa dulunya area ini jauh lebih luas. Namun, pembangunan yang masif
telah mempersempit habitat mereka. Kini, burung-burung ini terpaksa bertahan hidup
di tengah pembangunan yang terus merajela.
Renungan di Sarang Kuntul
Saat
melewati area tersebut, langkah kami melambat. Tidak hanya karena kagum pada
pemandangan burung kuntul yang bertengger anggun, tapi juga karena harus
berhati-hati. Jalanan penuh dengan kotoran burung yang, jika kurang waspada,
bisa mendarat di kepala.
“Kasihan
ya, burung-burung ini,” gumam Ida. “Kalau semua lahan berubah jadi jalan tol
atau perumahan, mereka cari makan di mana?”
Aku
terdiam, imajinasiku melayang. Bagaimana rasanya jadi burung kuntul? Mereka
makan serangga seperti belalang, lalat, lebah, dan cacing. Tapi jika lahan
hijau semakin sempit, apakah mereka akan mencari makanan di warung ayam goreng
atau ikut antre di Soto Lamongan? Kalau bisa bicara, mungkin mereka akan
mengeluh, takut kehilangan rumah, dan cemas akan masa depan anak-anak mereka.
Namun, lamunan itu tiba-tiba terhenti. Bau menyengat menusuk hidung, berasal dari selokan yang penuh sampah. Ada popok bayi, plastik bekas minyak, dan limbah rumah tangga lainnya. “Kok orang-orang tega banget buang sampah sembarangan,” aku mengomel. Pikiran tentang burung kuntul seolah lenyap digantikan rasa kesal pada perilaku manusia. Saya juga menyadari permasalahan sampah memang menjadi polemik di Jogja, dan belum ada titik temu untuk menyelesaikan.
Akhir yang Menghangatkan
Tak
terasa, kami tiba di titik akhir perjalanan. Semua rasa lelah terbayar ketika
aroma soto hangat dan gorengan menyeruak. Aku duduk di pendopo pinggir sungai,
menikmati semangkuk soto, segelas teh panas, dan obrolan ringan bersama peserta
lainnya.
Pagi ini,
Hash bukan hanya soal olahraga, tapi juga perjalanan penuh renungan—tentang
burung kuntul, pembangunan, dan harapan untuk desa kami. Dan tentu saja,
pengalaman ini semakin membuatku menghargai secangkir teh panas di akhir sebuah
perjalanan panjang.
Comments
Post a Comment