Seandainya Aku

 


Setelah selesai bekerja, aku duduk di depan pintu sambil memandang keluar rumah. Udara terasa cukup dingin karena hujan deras yang baru saja turun. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 17:30. Ku seruput kopi pahit dan ku sulut rokok kretek rempah, merek yang cukup terkenal di kalangan para Romo. Dalam suasana ini, pikiranku melayang, bertanya-tanya: “Sebenarnya, aku ini siapa?”

Entah kenapa, terlintas di benakku kemungkinan lain, jangan-jangan aku ini hanya satu dari banyak “aku” lain yang ada di luar sana. Aku bertanya-tanya, apakah di dimensi lain ada sosok yang mirip denganku, yang hidup dengan nasib serupa atau malah berbeda? Mungkinkah di dunia yang lain, aku menjalani kehidupan yang sama, atau mungkin aku menjadi seseorang yang sama sekali berbeda, hasil dari kondisi dan lingkungan sosial yang berbeda pula?

Bayanganku terus mengembara. Aku membayangkan diriku di dunia lain sebagai seorang ahli nujum yang bisa membaca bintang atau menafsirkan garis telapak tangan, atau mungkin, aku adalah orator ulung yang selalu lancar menyampaikan pikiran di hadapan orang. Lalu, pikiranku melayang lebih jauh lagi. Bagaimana jika aku hidup di masa lalu? Siapa aku di sana?

Mungkinkah aku adalah salah satu pejabat di zaman Majapahit, seorang lurah atau bupati di kerajaan besar itu? Atau jangan-jangan aku adalah seorang tukang kebun di Taman Gantung Babilonia, menanam dan merawat tanaman di taman itu. Kalau ditarik lebih jauh lagi, bisa saja aku adalah Pithecanthropus Mojokertensis yang ditemukan oleh Weidenreich dan G.H.R von Koenigswald pada tahun 1936. Bahkan, mungkin aku adalah seekor Brachiosaurus di zaman Jurasik, sekitar 150 juta tahun yang lalu.

Pikiran ini membuatku sadar betapa luasnya alam semesta ini. Bumi kita, pada dasarnya, hanya seukuran partikel kecil seperti quark di tengah jagat raya yang tak terbatas. Bayangkan saja, di luar sana mungkin ada kehidupan di planet lain, seperti planet Gliese 832c. Di sana, bisa jadi aku menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda, misalnya sebagai wakil presiden. Bahkan Elon Musk, orang terkaya di Bumi dan CEO Tesla, mungkin saja di sana hanya seorang tukang servis kompor. Kim Jong-un, yang di sini adalah pemimpin Korea Utara, mungkin saja di Gliese 832c menjadi seorang Sekretaris Desa.

Lalu, aku berpikir lebih dalam tentang kehidupan setelah meninggalkan Bumi. Berdasarkan konsep agama, kita akan masuk ke surga atau neraka. Namun, dalam imajinasiku, mungkin surga dan neraka adalah bentuk tatanan sosial yang baru. Setelah kita meninggal, kita akan dinilai berdasarkan kehidupan kita di Bumi, seperti melalui "passing grade" dari tingkah laku kita selama hidup. Mereka yang memenuhi nilai akan masuk surga, sementara yang tidak akan masuk neraka. Di sinilah kita mungkin akan bertemu dengan tatanan baru, menjadi manusia baru dengan latar belakang dan karakter baru pula.

Yah, akhirnya imajinasiku terhenti saat istriku memanggilku untuk mandi dan bersiap mengikuti ibadah arwah saudara kami yang meninggal tadi pagi. Jika dibaca lagi, pikiranku memang terasa rumit, mungkin semua ini hanya sekadar imajinasi yang akhir-akhir ini sering muncul. Rasanya, lamunan-lamunan ini menjadi pelipur hati dalam memahami kesinambungan hidup di semesta yang begitu luas.

 

Sampai jumpa di tulisan rumitku berikutnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Comments