Napak Tilas ke Peraduan Sang Ibu (Gua Maria Sendangsono)

 


Aku tidak tahu harus memulai dari mana untuk menceritakan pengalaman ini. Rasanya seperti perjalanan yang datang tanpa aba-aba, namun justru di situlah aku mulai belajar membaca gerak Tuhan dalam hal-hal yang tampak sepele.

Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikan pengumuman dari teman-teman OMK Santo Petrus Warak mengenai kegiatan napak tilas ke Gua Maria Sendangsono. Rencana itu muncul begitu saja tanpa musyawarah panjang, tanpa rapat berulang. Informasinya langsung dikirim ke grup WhatsApp OMK, dan jujur saja, saat itu aku tidak begitu menggubris.

Beberapa hari kemudian, aku sempat diajak secara pribadi oleh teman-teman seperti Wisnu dan lainnya. Mereka menawariku untuk ikut. Namun yang langsung muncul di benakku adalah kekhawatiran: “Apa aku kuat?” Kakiku, khususnya engkel kanan, masih menyimpan riwayat cedera yang kadang bisa kambuh kalau terlalu dipaksakan berjalan jauh. Teman-teman menenangkanku: “Kalau gak bisa jalan, naik mobil saja. Yang penting ikut menemani teman-teman.”

Namun, aku masih ragu.

Sampai akhirnya, ajakan itu kembali datang—dan kali ini lebih langsung, lebih personal. Entah kenapa, tanpa banyak berpikir, aku menjawab, “Ya, aku ikut.” Tapi tentu saja bukan berjalan kaki, melainkan naik sepeda motor untuk mengawal perjalanan, serta bersiaga jika ada teman-teman yang perlu bantuan di tengah jalan.

Beberapa hari sebelum hari keberangkatan, saat pembubaran panitia Pekan Suci, Ida mengajak Kak Juwita untuk turut serta dalam napak tilas. Kak Ju kemudian mengajak Tante Titik, Pak Sumar, dan Bruder Lius—seseorang yang kukenal akrab dan memang senang melakukan napak tilas. Rasanya seperti sebuah benang merah: kebiasaan, kerinduan, dan semangat yang menular dari satu orang ke orang lain.

Aku pun menghubungi Mas Dion, memastikan apakah ia akan ikut. Ia menjawab, “Ikut, tapi naik motor saja.” Rupanya, ia juga mengalami cedera lutut yang belum pulih betul. Mendengar jawabannya, aku merasa dikuatkan. Aku tidak sendiri dalam keterbatasanku. Ada sesama peziarah yang juga membawa beban fisik, namun tetap mau melangkah dalam bentuk yang berbeda.

Pada hari keberangkatan, 28 Mei, sore hari kondisi Ida masih kurang sehat. Ia batuk dan tubuhnya terasa lemas. Kami berdiskusi cukup lama: ikut atau tidak? Dalam keraguannya, kami mencoba mendengarkan suara hati masing-masing. Akhirnya, Ida memutuskan untuk tetap ikut. Bukan dengan berjalan kaki, tapi dengan mobil pengiring.

Menjelang keberangkatan, Bruder Lius menelepon, menanyakan kesiapan dan menawarkan untuk membawa kopi. Mas Dion juga menanyakan hal serupa. Akhirnya, tanpa banyak pikir, aku merebus air, mengisi termos, menyiapkan kopi, dan tak lupa memasukkan rokok herbal ke tas kecil. Ida menyiapkan pakaian ganti dan obat-obatan. Bahkan Tipatul juga ikut serta, dan kami menitip snack serta mantel untuk jaga-jaga di perjalanan.

Sekitar pukul 19.00 kami berangkat dari rumah, mampir dulu ke apotek untuk membeli "peralatan perang": tolak angin, Salonpas spray, dan lainnya. Sesampainya di Gereja Warak, kami disambut hangat oleh teman-teman OMK seperti Egar, AR, Nopal, Bram, Ava dan lainnya. Pukul 20.30, rombongan sekitar 40 orang mulai berjalan dari Gereja Petrus Warak.

Awalnya, aku, Mas Dion, dan Ida memang berencana mengikuti rombongan dengan naik motor. Tapi sesampainya di Gereja Warak, entah kenapa, ada dorongan dalam hati untuk mencoba berjalan kaki bersama yang lain. Motor kami titipkan di halaman belakang gereja.

Sambil memasukkan bekal ke dalam tas, aku melirik ke arah Ida dan bertanya pelan, “Yakin mau jalan kaki?”Ia mengangguk mantap, meskipun wajahnya masih terlihat letih. “Yakin. Kalau nggak kuat, nanti aku ikut mobil atau bonceng Bruder Lius aja,” jawabnya sambil tersenyum kecil. Jawaban itu sederhana, tapi menenangkan. Seolah mengatakan: kita tidak harus kuat sejak awal, yang penting kita mau melangkah dulu.

Saat langkah pertama dimulai, semuanya terasa biasa saja. Tak ada yang istimewa, tak ada yang terlalu berat. Tapi baru sekitar 500 meter, kakiku mulai “ngeliyut”—rasa nyeri yang mengingatkanku pada cedera lama muncul tiba-tiba, seolah ingin menjatuhkan langkah sebelum semangat benar-benar menghangat. Saat itu kami berjalan bertiga—aku, Mas Dion, dan Ida—berada di tengah-tengah rombongan besar.

Kami terus berjalan perlahan, menyesuaikan ritme satu sama lain. Angin malam yang menyusup di antara pohon-pohon membuat suasana terasa tenang, tapi tubuh mulai menunjukkan tanda-tanda lelah. Setelah menempuh sekitar 3,5 kilometer, rombongan berhenti sejenak untuk istirahat.

Ida terlihat makin kelelahan. Batuknya semakin sering, dan wajahnya mulai pucat. “Aku bonceng Bruder Lius aja, ya,” katanya pelan. Tak ada yang keberatan. Kami semua tahu, dalam perjalanan seperti ini, mendengar tubuh sendiri adalah bentuk ketaatan yang paling bijak.

Melihat kondisi Ida, aku dan Mas Dion pun akhirnya naik ke mobil bak terbuka yang dikemudikan Mas Farih. Awalnya, kami hanya berniat duduk sebentar untuk memulihkan tenaga. Tapi seperti dugaan—begitu duduk di dalam mobil, suasana jadi cair. Kami tertawa, bercanda, melempar celetukan tentang Nopal yang katanya harus selalu diawasi biar nggak nyasar, dan saling melempar tebak-tebakan absurd. Aku bertanya “Eh, pabrik yang tadi kita lewatin tuh bikin apa ya?”. “aku akan berdoa kepada Bunda Maria, untuk meminta pentunjuk, itu pabrik apa!” gurau Mas Dion, disambut tawa lepas yang sejenak menghapus rasa lelah.

Sekitar 2 km kami ikut mobil, lalu turun di perempatan untuk membantu menyeberangkan rombongan. Di sana sudah ada Kaka (tim keamanan), Ermin (tim sapu ranjau), serta Ida dan Bruder Lius. Setelah semua menyeberang, kami lanjut ke pertigaan untuk membantu keamanan rombongan lagi.

Saat kurasa semuanya aman, aku mengajak Mas Dion untuk berjalan kaki. Entah mengapa, ada dorongan kuat untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan. Rupanya Ida juga memutuskan hal yang sama ia ikut berjalan kaki bersama rombongan Pak Sumar, Kak Ju, dan Tante Titik.

Tersesat untuk Menemukan

Di sinilah bagian paling dalam dari perjalanan ini dimulai. Aku dan Mas Dion memutuskan untuk kembali turun dari mobil dan berjalan kaki menyusuri jalur Sayegan. Jalan itu sunyi tapi terasa hidup lampu-lampu jalan temaram, udara malam yang lembap, dan suara langkah kaki yang menyatu dengan detak hati.

Dalam gelap yang tidak sepenuhnya sepi, obrolan kami mengalir begitu saja. Kami mulai membicarakan spiritualitas OMK—bagaimana iman muda seringkali penuh gejolak tapi juga menyimpan potensi besar. Mas Dion lebih mengenal spiritualitas Ignasian, jadi aku mendengarkan banyak dari ceritanya. Tapi seperti biasa, di tengah keseriusan, selalu saja ada ruang untuk bercanda. Aku sempat nyeletuk, “Kalau kita dilepas tanpa Google Maps, bisa-bisa kita nyasar dan keblasuk sampai Muntilan.” Kami tertawa kecil.

Di sisi jalan, truk-truk besar berseliweran. karena di dekat kami ada pembangunan Jalan Tol. Mungkin suatu hari nanti, jalur ini akan berubah, dan tidak akan menemukan suasana seperti ini, kaki yang sejak awal terasa ngilu, kini seakan lupa caranya mengeluh. Mungkin karena kami terlalu larut dalam obrolan, atau mungkin karena ada yang ikut menuntun langkah kami dari dalam hati.

Tak terasa, kami tiba di titik perhentian pertama: sebuah Alfamart di pertigaan. Kalau lurus, jalan akan mengarah ke Kecamatan Minggir; kalau belok kanan, itulah jalur menuju Sendangsono.

Kami berhenti sebentar di sana. Aku membeli sebotol Pocari Sweat sebagai “doping” darurat. Sementara itu, kelompok pertama yang terdiri dari Tante Titik, Kak Juw, Ida, Pak Sumar, dan beberapa teman OMK lain mulai melanjutkan perjalanan lebih dulu.

 Aku berdiri sejenak di depan toko, menatap gelap yang masih terbentang di depan. Perjalanan ini masih panjang, pikirku. Tapi tidak apa-apa. Bukankah hidup juga seperti itu—kita berjalan bukan karena semua jelas, tapi karena kita percaya bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, sedang diarahkan menuju sesuatu yang lebih dalam?

Setelah cukup beristirahat, aku menghabiskan sebatang rokok kretek herbal, sebuah ritus kecil sebelum melanjutkan perjalanan malam menuju Sendangsono. Aku dan Mas Dion bersiap kembali melangkah. Langit mulai menghitam pekat, dan suasana pun semakin senyap. Untungnya, Mas Dion membawa senter, menjadi satu-satunya cahaya yang kami andalkan di tengah gelapnya jalan Sayegan yang perlahan kami tinggalkan.

Dengan penuh percaya diri, aku memutuskan untuk mengambil jalur jembatan gantung Duwet. Aku sempat mencoba menghubungi Ida di tim pertama untuk memastikan arah, namun tidak ada jawaban. Hanya berbekal Google Maps dan semangat petualang, kami mantap melangkah menyusuri jalanan desa yang makin sunyi. Waktu sudah menunjukkan pukul 22:30. Kami masuk ke kawasan yang dalam bahasa Jawa biasa disebut alas—tanpa rumah, tanpa lampu, hanya suara jangkrik dan aliran air dari selokan Mataram yang mengiringi.

Di tengah suasana malam yang hening dan lengang, aku sempat bercanda, “Kalau soal gangguan makhluk halus atau manusia sih, kita siap hadapi. Asal jangan ular.”
Mas Dion langsung mengamini, “Iya, aku juga! Gak takut demit, asal jangan ketemu ular.”

Kami tertawa kecil. Di tengah sunyi, candaan semacam ini justru jadi pengusir sepi yang paling mujarab. Perjalanan kami berdua pun berlanjut, menyusuri jalan setapak di pinggir ladang dan rumpun bambu yang mulai menghitam. Hanya suara langkah kaki dan desir angin di sela-sela pohon yang menemani.

Namun yang membuat malam itu terasa hidup adalah percakapan kami. Obrolan mengalir begitu saja—tentang hidup, tentang OMK, tentang ke mana arah pastoral sebaiknya dibawa. Kami juga membahas berbagai tantangan Gereja masa kini, dari realitas kaum muda hingga dinamika pelayanan yang tak jarang penuh tarik ulur. Semua kami hubungkan dengan teori, pengalaman, bahkan pembacaan kritis atas praktik rohani yang pernah kami jalani.

Bagi kami, malam itu bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga peziarahan batin. Dan tanpa kami sadari, langkah demi langkah yang awalnya terasa berat, kini seolah ringan. Rasa lelah dan pegal kaki sempat hilang ditelan percakapan yang bermakna.

Dan tiba-tiba saja, di hadapan kami, jembatan gantung Duwet sudah berdiri tegak. Gelap, sunyi, dan mungkin sedikit mengintimidasi. Tapi pada saat itu, kami hanya menatapnya dengan senyum. Kami sudah melangkah sejauh ini, dan sejauh ini pula kami menemukan bahwa bahkan di tengah gelap dan takpastian, Tuhan tetap menyertai—melalui percakapan, persahabatan, dan keheningan yang mengizinkan hati mendengar lebih dalam.

Namun di titik ini, kami mulai curiga. Tidak ada jejak tim pertama. Tidak ada satu pun tanda bahwa mereka pernah melewati jalur ini. Kekhawatiran kami terkonfirmasi saat telepon dari Ida masuk—dia bertanya kami sudah sampai mana. Aku jawab, “Sudah sampai jembatan gantung.” Ida terkejut: “Lho, kok bisa lewat situ? Kami lewat Bendungan Ancol Bligo!”

Oh, Tuhan. Kami salah jalan. Kami tersesat.

Aku langsung bilang ke Mas Dion bahwa kita harus balik arah menuju Ancol Bligo. Aku cek Google Maps, dan... ya ampun, jaraknya masih 4,5 kilometer dari tempat kami berdiri. Jam sudah pukul 23:00.

Kami sempat bimbang: lanjut lewat jembatan gantung, atau putar arah ke Ancol Bligo. Lalu, Google Maps mengarahkan kami ke sebuah jalan kecil sekitar 30 meter sebelum jembatan gantung. Jalannya menyempit, masuk ke kebun bambu. Tak ada rumah, tak ada lampu. Kami berhenti.

Aku tanya Mas Dion, “Ini kita terusin atau balik?”

Mas Dion diam sejenak, lalu berkata, “Kita pikirkan lagi. Ini jalan yang benar, atau cuma reaksi tergesa-gesa karena panik?”

Diam-diam, aku merasa tertampar. Kadang, yang kita kira keberanian—adalah suara dari kepanikan, bukan suara Tuhan. Refleksi ini langsung mengingatkanku pada ajaran Ignatius: pentingnya membedakan roh dalam membuat keputusan. Apakah ini dari Tuhan? Atau dari kecemasan kita sendiri?

Akhirnya, kami mengambil keputusan yang paling masuk akal: mundur. Kami putar balik, meninggalkan jalur kecil yang penuh ragu, dan menyusuri kembali jalan yang tadi kami lewati.

Di tengah jalan, kami bertemu dengan Bruder Lius.

Ternyata, sejak awal aku membagikan shareloc, Bruder memantau kami terus. Ia tahu kami tersesat, dan segera datang menjemput dengan tenang, seperti seorang gembala yang memperhatikan dombanya dari kejauhan, membiarkan mereka melangkah sendiri, tapi siap menolong bila mereka kehilangan arah.

Kami berdiskusi lagi: apakah tetap melewati jembatan gantung Duwet atau kembali ke jalan utama via Ancol Bligo? Kami timbang ulang segala kemungkinan, pertimbangan praktis, tenaga yang tersisa, dan situasi jalan malam itu. Dan akhirnya, dengan keyakinan yang lebih tenang, kami memutuskan kembali ke rute awal: jembatan gantung Duwet.

Sebelum berpisah, Bruder Lius menatap kami dan berkata singkat, “Kalau ada apa-apa, telepon saja. Aku akan jemput.”

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi menghangatkan. Seperti suara bapa rohani yang selalu hadir sebagai penopang dalam kebebasan pilihan. Dalam keremangan malam, aku merasa sungguh disertai. Kami tidak berjalan sendiri. Tidak pernah benar-benar sendiri.

Aku sempat meminta maaf pada Mas Dion. Tapi dia hanya tertawa dan berkata, “Tidak perlu minta maaf. Ini bagian dari perjalanan. Justru ini membuat kita bisa lebih mengenal satu sama lain.” Aku tersenyum. Kami memang baru kenal belum genap sebulan.

Ketika melewati jembatan gantung Duwet, aku teringat Ida yang pernah bilang kalau naik motor lewat sini, dia pasti merem. Sungainya dalam perasaan takut ketika Ida lewat jalan ini. Setelah sampai di ujung jembatan, kami berpapasan dengan sekelompok pemuda. Awalnya terlihat sangar dan mencurigakan, tapi ternyata mereka justru menyapa sopan:
“Mau ke mana, Mas?”

“Ke Sendangsono,” jawab kami.

“Lho, jangan lewat sini, rutenya berat dan lebih jauh. Lewat Ancol Bligo saja. Gampang dan lebih aman.”

Mereka bahkan menunjukkan arah yang lebih masuk akal daripada yang ditunjukkan Google Maps. Kami pun berterima kasih. Mereka membalas, “Hati-hati di jalan.”

Dalam hati, aku tertegun. Ternyata Tuhan hadir bukan hanya dalam misa atau doa, tetapi dalam perjumpaan manusia seperti ini—pemuda yang kami kira mengancam, malah jadi penolong.

Kami kembali berjalan, menyusuri jalan menuju Ancol Bligo dengan semangat yang baru. Dalam hati, aku membatin: teknologi bisa menyesatkan, tapi perjumpaan manusia bisa menuntun. Tuhan hadir dalam segala—dalam jalan setapak, dalam kebingungan, dalam orang asing, dalam keputusan yang akhirnya mengajarkan sesuatu.

Terkadang, tersesat adalah cara Tuhan mengajak kita berhenti sejenak... untuk benar-benar melihat arah.

Akhirnya, kami menyusuri jalan sesuai petunjuk para pemuda tadi. Dan benar saja—kami menemukan tugu yang mereka maksud, penanda bahwa kami sudah berada di jalan besar yang mengarah ke Bligo. Perasaan lega mulai muncul, seperti mendapatkan konfirmasi dari alam bahwa kami berada di jalur yang tepat.

Di tengah perjalanan, Bruder Lius menelepon lagi. Suaranya terdengar cemas tapi hangat:

“Mau dijemput nggak?”

Aku menjawab dengan nada bercanda, “Nggak usah, Bruder. Ini bagian dari perjalanan rohani yang harus diselesaikan.”

Bruder tertawa kecil, tapi tetap mengingatkan agar hati-hati.

Perjalanan terus berlanjut. Kami pun mulai ngobrol soal hal-hal yang lebih luas. Dari fenomena keberagamaan umat masa kini, sampai politik kampus dan bagaimana spiritualitas kadang dikomodifikasi dalam institusi. Topik yang awalnya hanya candaan, lama-lama jadi refleksi serius—tanda bahwa jalan yang panjang membuka ruang bagi pikiran dan hati untuk menelusuri hal-hal yang biasanya terlewat.

Di tengah obrolan, Ida menelepon. “Sudah sampai mana?”

Aku jawab, “Kurang satu kilometer lagi kok.”

Sebenarnya, kami tidak tahu pasti itu daerah mana. Tapi ada lampu rumah, dan jalannya beraspal. Kami percaya, kami tidak lagi tersesat.

Kami sempat berhenti sejenak di sebuah angkringan yang sudah tutup. Minum air, dan—ya, sempat menghisap sebatang rokok. Tapi belum lima hisapan, tiba-tiba muncul suara motor dari kejauhan. Ternyata Bruder Lius dan Ermin datang menjemput kami.

“Oh Tuhan…” gumamku pelan.

Awalnya aku ingin menolak. “Tinggal satu kilometer, Bruder,” kataku. Tapi mereka membujuk, “Daripada nyasar lagi. Lagian waktunya sudah molor.”

Kami pun naik. Dan dalam hati, aku bersyukur. Rupanya sejak awal, Bruder Lius tidak pernah lepas dari memantau perjalanan kami. Ia mengingatkanku pada gambaran Yesus sebagai gembala yang mencari domba yang hilang.

Dan malam ini, akulah domba itu.

Bertemu, Berbagi, dan Menghidupi Cerita

Begitu tiba di Ancol Bligo, kami disambut rombongan pertama. Ternyata, kami bukan kelompok terakhir yang tiba. Pak Sumar juga sempat tersesat. Setelah menurunkan kami, Bruder dan Ermin kembali melacak jejak Pak Sumar. Syukurlah, mereka akhirnya bertemu.

Sekitar dua puluh menit kemudian, rombongan ketiga dan keempat menyusul.

Malam itu, di Bligo, kami bukan sekadar berkumpul. Kami dipertemukan kembali—dari jalan yang berbeda-beda, dari kebingungan yang masing-masing alami. Dan dari pengalaman itu, aku makin menyadari:

Tuhan tidak hanya hadir di tempat tujuan, tapi juga di jalan yang meleset, di telepon yang tidak dijawab, di orang yang menjemput, di jeda lima hisapan rokok, dan di setiap upaya kecil untuk kembali ke arah yang benar.

Peziarahan ini bukan soal menjadi yang pertama sampai. Tapi bagaimana kita belajar menemukan Tuhan dalam segala—dan dalam semua yang kita temui.

Saat kami akhirnya beristirahat di Ancol Bligo, suasana menjadi lebih ringan. Di antara napas yang belum sepenuhnya kembali normal dan tubuh yang mulai terasa lelah, aku justru tergelak sambil bercanda, “Yang kita takutkan hilang itu Nopal… eh, ternyata yang hilang malah kita!” Semua tertawa. Canda itu seperti melepaskan beban, karena memang, tersesat itu lebih mudah ditertawakan setelah kita tahu kita sudah kembali di jalan yang benar.

Waktu istirahat diisi dengan obrolan santai, canda gurau, dan... musik. Ava memutar lagu-lagu dari The Cloves and The Tobacco dan MCPR. Ida langsung menyahut, “Ih, di rumah lagunya itu-itu terus, di sini juga sama!”

Ava tak kalah cepat membalas, “Ya iyalah. Aku sama Mas Hans itu sama-sama punk.”
Aku nyeletuk, “Pangkur Jengleng po?”

Ledakan tawa kecil langsung terdengar.

Tante Titik mulai berdiri dan mengajak kloter pertama untuk berangkat lebih dulu. Di kelompok itu ada Kak Ju, Pak Sumar, dan beberapa teman OMK lainnya. Sementara itu, aku masih duduk santai, menikmati waktu istirahat. Obrolan ringan terus mengalir.

Ida, yang terlihat letih, mendekatiku dan berkata lirih, “Aku sudah nggak kuat jalan lagi. Kayaknya mau nebeng Bruder Lius aja sampai Sendangsono.”

Aku tersenyum dan menjawab, “Oke, nanti kita ketemu di Sendangsono. Pesanku cuma satu: janga capek-capek aja, ya.”

Aku lalu menyalakan sebatang rokok kretek herbal. “Setelah ini habis, kita berangkat lagi,” ucapku pada Mas Dion dan Ida.

Di tengah malam yang dingin, rokok memberikan rasa hangat dan semacam jeda batin. Mungkin bagi sebagian orang ini bukan bagian dari ziarah, tapi bagiku, ini adalah momen tenang menghirup, menghela, dan menimbang kembali arah langkah.

Jalan Sunyi, Semangat Bersama

Setelah rokok habis, aku berdiri dan mengajak Mas Dion untuk lanjut berjalan. Sendangsono masih sekitar 6 kilometer lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.30. Kami bersiap.

Yang mengejutkan, Ida yang tadi ingin naik kendaraan, tiba-tiba ikut bangkit berdiri. “Yuk, aku ikut jalan juga,” katanya.

Aku melirik heran. “Serius?”

Dia mengangguk mantap. “Kalau nggak kuat, nanti tinggal minta jemput.”

Aku tersenyum, kali ini bukan karena candaan, tapi karena kagum. Dalam peziarahan, ada titik ketika tubuh lelah tapi hati belum selesai. Dan mungkin itu yang terjadi pada Ida—dorongan batin untuk tetap berjalan meski raga sempat ragu.

Akhirnya kami berangkat bertiga, menyusuri malam menuju Sendangsono. Sunyi malam, dingin udara, dan langkah kaki kami adalah kidung yang pelan tapi pasti—didorong bukan hanya oleh niat, tapi oleh semacam rahmat yang diam-diam menuntun.

Kami kembali melanjutkan perjalanan, masih ditemani suara gemericik Sungai Progo yang terus mengalun di kejauhan. Suasana malam yang tenang memberi ruang bagi kami bertiga untuk berbagi cerita. Aku dan Mas Dion saling mengisahkan pengalaman kami sebelumnya saat tersesat, sementara Ida menambahkan ceritanya saat bersama tim pertama. Canda tawa kecil mengiringi langkah kami.

Percakapan kami terhenti sejenak ketika melintasi Wisma Lentera Kasih. Ida menunjuk bangunan itu dan berkata, “Dulu murid-muridku pernah retret di sini.”

Aku pun mengangguk, “Biasanya kalau aku ke Sendangsono, wisma ini jadi patokan, Mas.”

Mas Dion tersenyum, “Oh, ini yang kamu maksud tadi.”

Tak lama setelah itu, kami tiba di jalan raya besar. Kami merasa lebih percaya diri—jalur ini familiar dan menurut kami, tak mungkin tersesat lagi. Di kejauhan, tampak sebuah kapel kecil yang nanti baru kuketahui bernama Kapel Santo Martinus Slanden. Di sebelah kapel itu, terlihat sebuah jalan beraspal halus yang tampak bisa dilewati mobil.

“Sepertinya menarik nih. Lebih dekat pula,” kataku sambil membuka Google Maps.

“Coba aja ya, siapa tahu lebih cepat,” sahut Mas Dion.

Kami pun menyusuri jalan itu, melintasi sisi kapel. Sekilas kami membicarakan soal bentuk kapel-kapel kecil di desa-desa yang tampaknya seragam—sederhana, tenang, dan bersahaja. Tapi tak lama kemudian, kami sampai di persimpangan. Google Maps mengarahkan kami untuk belok kanan. Tapi kami ragu—jalan ke kanan tampak tidak jelas, nyaris tak terlihat.

Kami lanjut menyusuri jalan aspal itu, berharap menemukan petunjuk. Tapi peta malah menunjukkan kami makin menjauh. Kami pun berhenti dan meninjau ulang.

“Oh, ternyata kebablasan,” gumamku.

Kami kembali ke titik awal dan akhirnya menemukan jalan kecil itu—jalan sempit berbatu, gelap. Di sisi kami terbentang kebun kakao yang lebat. Tak ada lampu, hanya senter Mas Dion yang menjadi penuntun.

Jalan yang kami lalui mulai menanjak. Langkah kaki terasa berat. Tapi pelan-pelan, kami tetap melangkah. Kami pun kembali berbincang tentang keluarga. Dari obrolan itu, aku baru tahu bahwa ternyata Mas Dion dan Ida masih ada hubungan kekerabatan jauh. Dunia memang sempit.

Meski gelap dan sepi, suasana terasa hangat karena percakapan kami begitu mengalir. Tapi semakin jauh, aku mulai ragu. Jalurnya terasa asing dan kondisi jalan tidak membaik.

“Kalau masih begini terus, mungkin sebaiknya kita belok kanan aja ke jalur utama,” kataku.

Kami cek peta lagi. Ternyata, sekitar 500 meter di depan ada persimpangan menuju rute yang biasa dilalui. Kami sepakat: kalau jalan masih begini, kami belok saja.

Tapi tiba-tiba kami dihadapkan pada tanjakan tajam. Kami baru menyadarinya ketika senter Mas Dion mengarah ke atas.

“Wooo... tajem banget tanjakannya!” gumam kami hampir bersamaan.

Kami bersiasat: jangan lihat ke atas, fokus saja ke langkah kaki.

Dalam diam, kami menaiki tanjakan itu perlahan, tanpa terburu-buru. Nafas mulai berat, tapi kami tetap melangkah. Dan akhirnya kami berhasil sampai di atas!

Ida langsung duduk dan berkata, “Istirahat bentar, minum dulu.”

Kami membuka botol minum, menyemprotkan sedikit Salonpas spray untuk menyegarkan otot kaki, dan berdiskusi sebentar. Akhirnya kami sepakat untuk tetap melanjutkan jalur ini, tidak perlu berbelok ke kanan.

Perjalanan berlanjut. Sambil berjalan, kami mulai bercanda soal kondisi jalan.

“Ini jalannya kok nggak pernah diaspal ya?” celetuk Ida.

“Iya. Pemerintah kayak lupa kalau daerah sini ada yang tinggal,” jawabku.

Beberapa menit kemudian, kami menemukan jalan aspal mulus. Kami hampir bersorak senang. Tapi ternyata... hanya 100 meter saja.

Jalan kembali rusak seperti semula.

“Pasti yang ngaspal ini caleg yang menang Pilkada. Nyumbang aspal cuma 100 meter,” anda Mas Dion. Kami pun tertawa. Di sekeliling hanya pepohonan, rumah jarang terlihat. Tapi obrolan dan canda kami membuat perjalanan tetap hidup.

Aku mulai mengkhawatirkan kondisi Ida. Wajahnya terlihat lelah, langkahnya mulai melambat. Aku pun bertanya pelan, “Dik Ida, kamu aman? Masih kuat?”

Dia menjawab dengan senyum kecil, “Masih kok, Mas. Aman.”

Meski begitu, kami semua tahu bahwa tubuh kami sudah benar-benar digempur rasa lelah. Baju kami basah kuyup oleh keringat, udara malam yang lembab seolah tak memberi ruang untuk kering.

Tapi seperti sebelumnya, canda adalah cara kami mengalihkan penat.

“Jangan sampai kita minta bantuan tim rescue ya,” gurauku.

Mas Dion menimpali sambil tertawa, “Iya, nanti kasihan yang jemput. Motor Bruder Lius matik, motor Ermin rantainya kendor. Bisa-bisa mereka malah mogok di tengah jalan.”

Kami tertawa lepas. Canda itu, walau sederhana, entah bagaimana mampu mengisi ulang tenaga kami.

Aku menegaskan lagi, “Pokoknya kita kuat sampai Sendangsono. Kalau capek, kita istirahat. Nggak usah dipaksain.”

Ida mengangguk, “Siap, Mas. Setuju banget.”

Jalan yang kami lewati memang tak bisa dianggap remeh. Setiap kali ada tanjakan, kami otomatis menunduk, melihat ke bawah, fokus ke langkah kami. Seolah kalau melihat ke atas, semangat bisa runtuh.

Tapi ada sesuatu yang berubah Ida yang sebelumnya sempat ingin menyerah, kini justru terlihat lebih semangat.

Dalam hati aku berpikir, mungkin semangat itu menular. Energi positif yang kami ciptakan bersama, rasa saling jaga, canda dan tawa—semuanya menjadi bahan bakar bagi kaki-kaki kami yang mulai goyah.

Kami mungkin hanya bertiga di jalanan sepi malam itu, tapi terasa seperti membawa kekuatan dari banyak hal: persahabatan, niat ziarah, dan keyakinan bahwa langkah kami bukan langkah yang sia-sia.

Akhirnya, kami bertemu dengan jalan aspal yang mulai halus. Perasaan lega mulai merayapi tubuh kami. Rumah-rumah warga pun mulai bermunculan, meski jaraknya masih renggang. Kami mengecek waktu—sudah pukul 01.30 dini hari. Malam semakin larut, udara semakin dingin, dan jalanan tetap sepi. Tapi semua itu tak menyurutkan semangat kami untuk terus melangkah.

Di tengah gelap dan hening, tiba-tiba Ida berseru pelan, “Mas, awas... ada ular!”

Aku langsung menghentikan langkah. Jantungku sempat melonjak. Di tengah jalan, betul saja, seekor ular kecil melintang. Refleks aku berteriak kaget. Mas Dion segera menyorotinya dengan senter, dan Ida mendekat untuk memastikan.

“Udah mati, Mas. Tenang aja,” kata Ida.

Syukurlah.

Kami bertiga terdiam sebentar. Lalu aku membuka suara, “Asem... ini perjalanan kayak dikasih ‘final boss’ ya. Dari tadi kita dihadapkan terus sama hal-hal yang kita takutin—mulai dari nyasar, jalanan gelap, tanjakan ekstrem, sampai... ya ini, ular.”

Ida tertawa kecil, “Iya, kayaknya semesta mau nguji mental kita semua.”

Mas Dion menimpali, “Atau justru ini semua bentuk penyertaan-Nya. Ular itu udah mati, bukan hidup. Kita dikasih ketakutan, tapi selalu diselamatkan sebelum bahaya benar-benar datang.”

Aku merenung sejenak. Mungkin benar. Perjalanan ini bukan sekadar soal sampai tujuan. Tapi tentang keberanian menghadapi ketidaktahuan, tentang percaya pada arah, dan tentang bagaimana kita belajar menanggapi rasa takut—bukan menghindarinya, tapi mengenalnya dan berjalan bersamanya.

Setelah berjalan beberapa saat, kami menemukan Kapel Santo Fransiskus Xaverius di Pelem. Seketika pembicaraan kami kembali ke topik bentuk-bentuk kapel yang sejak tadi menarik perhatian. “Kapel di sini banyak banget ya, berdekatan,” kataku.

Ida mengangguk. “Iya, beda banget sama di Paroki kita, Baturetno, atau Paroki Danan. Jarak antar kapel bisa jauh banget.”

Kami membayangkan, betapa hidupnya dinamika umat di wilayah ini. Kapel-kapel kecil tersebar di banyak titik, menjadi penanda kehadiran komunitas Katolik yang tetap hidup dan bertumbuh meski jauh dari pusat kota.

Namun, tantangan berikutnya segera datang.

Tiba-tiba dari sebuah rumah yang tampak gelap, terdengar suara gonggongan keras. Seekor anjing keluar dari balik pagar, lalu disusul beberapa ekor lain. Kami langsung terdiam. Aku dan Ida saling menggenggam tangan, spontan, sebagai bentuk saling menguatkan.

Dalam hati aku mulai panik: Wah, ini kalau diserang bisa kacau.

Namun, Mas Dion tetap tenang. Dengan nada santai, ia berkata, “Tenang, mereka cuma menjaga wilayah. Mereka nggak akan menggigit selama nggak merasa terancam. Kecuali kalau rabies, itu beda cerita…”

Kalimat itu justru membuat pikiranku makin kalut. Rabies? Otakku langsung teringat postingan-postingan di Instagram beberapa waktu terakhir ini aku lihat ada orang meninggal karena rabies. Wajah-wajah pucat, luka gigitan, cerita tragis. Masak iya, aku sudah berjalan sejauh ini, cuma untuk digigit anjing dan masuk berita? Absurd. Tapi tetap saja: ketakutan itu nyata.

Kadang, media sosial memang seperti pisau bermata dua. Di satu sisi memberiku pengetahuan, tapi di sisi lain justru menciptakan ketakutan yang berlebihan. Sialan, gerutuku dalam hati. Rasa waswas itu makin jadi karena malam semakin larut, dan derap langkah kami masih dibuntuti gonggongan nyaring dari belakang.Kami melanjutkan langkah pelan-pelan. Namun para anjing itu tetap menggonggong keras, dan bahkan mengikuti kami dari belakang. Sekitar satu kilometer penuh kami berjalan diiringi suara gonggongan dan langkah-langkah cepat dari anjing-anjing yang menjaga teritori mereka.

Pikiranku masih waswas. Namun suara Mas Dion yang konsisten menenangkan benar-benar membantu:

“Aman, yang penting jangan panik. Jangan lari. Kita tetap tenang.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Di antara gelap, dingin, dan suara anjing, aku belajar satu hal lagi: ketenangan adalah kekuatan. Kami tetap berjalan tak berlari, tak menoleh terlalu sering. Dan akhirnya, gonggongan itu pun perlahan menjauh, berganti dengan sunyi yang kembali mendominasi malam.

Kami sedikit lega saat sampai di sebuah pertigaan dan melihat petunjuk arah: ke kanan menuju Sendangsono. Tanda itu seperti oase setelah lama terombang-ambing dalam ketidakpastian. Dengan keyakinan baru, kami mengikuti arah tersebut.

Berbeda dari sebelumnya yang penuh tanjakan, kini kami menuruni jalan yang cukup tajam. Baru beberapa langkah, Ida tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Mas, kaki kiriku kram,” katanya pelan. Kami segera berhenti.

Aku jongkok, membuka sepatunya, dan menyemprotkan Solan Pas spray sambil memijat pelan kakinya. Aku bisa merasakan tubuhnya mulai benar-benar kelelahan. Sementara itu, aku melihat Mas Dion berjalan sedikit pincang. Ketika kutanya, ia hanya tersenyum tipis sambil menunjukkan sol sepatu yang jebol.

“Ya ampun, Mas...”

Untungnya, sepatu itu masih bisa digunakan untuk menopang langkahnya. Setelah beberapa menit, kami melanjutkan menuruni jalan itu. Di sisi kiri kami, samar-samar terlihat permukaan air tenang. Ternyata kami melewati sebuah embung. Setelah kami cek lewat Google Maps, namanya Embung Cepdam. Suasananya sepi dan senyap, hanya terdengar suara jangkrik dan hewan malam lain, seperti konser alam yang mengiringi langkah kami.

Tiba-tiba aku mencium bau dupa. Kutarik napas pelan dan memastikan, “Mas, Da, kalian cium bau dupa nggak?”

Mereka mengangguk. “Iya, Mas,” jawab Ida.

Anehnya, tak ada rasa takut. Tak ada yang panik. Kami tetap berjalan seperti biasa. Mungkin karena energi kami bertiga tetap positif dan saling menguatkan. Tak ada ruang bagi rasa takut untuk menyelinap. Bahkan aroma dupa itu terasa menenangkan, seperti pengingat bahwa kita sedang berjalan dalam ziarah, dalam kesunyian malam yang khusyuk.

Aku percaya, ketika niat kita baik dan tulus, semesta pun akan menemani. Kita tidak sendirian. Kita selalu didampingi oleh sesuatu yang lebih besar dari kita entah itu doa, entah itu cinta, entah itu Tuhan sendiri yang menyamar lewat bau dupa di tengah malam.

Sampai di Rumah Bunda

Beberapa saat kemudian, kami akhirnya sampai di rute Jalan Salib. Rasanya seperti menemukan oasis di tengah padang lelah. Hati kami dipenuhi kegembiraan—itu artinya, Sendangsono sudah sangat dekat. Energi kami pun seakan terisi kembali hanya karena melihat tanda-tanda itu.

Dari kejauhan, terdengar suara yang memanggil-manggil. Kami menoleh, dan ternyata itu suara Angger, Ava, dan beberapa teman OMK lainnya. Ternyata mereka juga baru sampai, setelah menempuh rute Promasan jalur yang memang sudah ditentukan oleh panitia.

Kami melanjutkan langkah sambil bercanda. Ida tiba-tiba berkata bahwa dia punya teman yang rumahnya ada di sekitar sini. Beberapa teman OMK yang mendengar langsung bertanya, “Yang mana rumahnya, Mbak?”

Ida menjawab, “Kayaknya ini deh… eh, bukan. Mungkin yang itu… eh, bukan juga.”

Kami tertawa. Ternyata rumah yang dimaksud ada di dekat jalan masuk utama Sendangsono. Struktur bangunan di sekitarnya memang mirip, dan sudah lama juga kami tak ke sana, jadi tak heran Ida sempat bingung.

Waktu menunjukan pukul 02:30, akhirnya, kami tiba juga. Langkah terakhir itu terasa ringan, meski tubuh sebenarnya lelah luar biasa. Dalam hatiku, aku berbicara lirih:

Bunda Maria, aku datang ke rumah-Mu, dengan segala dinamika, harapan, dan ketakutan akan hidup dan masa depan. Kiranya Engkau bersedia menemani dan menerima kami di setiap langkah hidup kami.

Perjalanan ini panjang, melelahkan, penuh tantangan dan kejutan ternyata jauh dari bayangan kami. Namun di situlah letak kekuatannya: bahwa setiap langkahnya mengajarkan kami sesuatu. Tentang persahabatan. Tentang daya tahan. Tentang makna perjalanan itu sendiri.

Capek? Ya, tentu saja. Tapi semua kelelahan itu seolah larut dalam dinamika yang kami hadapi bersama. Dan kini, yang tersisa adalah rasa syukur dan bahagia. Perjalanan ini mengajarkan kami banyak hal, lebih dari yang kami kira. Dalam diam, dalam lelah, dalam percakapan yang biasa Tuhan hadir. Kami pulang bukan hanya dengan tubuh yang capek, tapi dengan jiwa yang diberi pelita. Kami belajar bahwa Sendangsono bukan sekadar tempat, melainkan ruang batin yang menanti untuk dihuni oleh niat, pertanyaan, dan syukur.

Terima kasih untuk teman-teman OMK Santo Petrus Warak. Perjalanan ini sungguh menyenangkan. Kami menantikan perjalanan berikutnya



 

 



Comments