Sesudah absen dari kantor, tubuh ini rasanya remuk. Bukan karena kerja fisik semata, tapi karena banyak hal—mulai dari urusan yang benar-benar penting, sampai hal-hal yang sebetulnya tak masuk akal, namun cukup menyita tenaga, pikiran, dan kesabaran. Aku tahu persis apa saja yang membuatku lelah, tapi tak selalu tahu harus mulai dari mana untuk memulihkannya.
Sore itu aku
bersama Dion di ruang kerja atas. Ia memutar lagu-lagu tahun 2000-an. Musik itu mengalir lembut, membelah udara
dan menyusup ke kepala. Kami lalu larut dalam obrolan tentang masa lalu—tentang
band-band mancanegara seperti Westlife, Avril Lavigne, Bon Jovi; dan musisi
lokal seperti Caféein, Dewa, Kangen Band, Jikustik. Lagu-lagu itu membawa kami
bernostalgia, menghangatkan ruang dengan kenangan dan tawa, juga sedikit
menenangkan emosi dan kebundetan pikiran yang menumpuk sejak pagi.
Aku bilang ke
Dion, "Kayane aku harus nulis lagi. Soalnya kalau stres, rasanya nulis
itu bisa ngebantu.”
Lalu dia menjawab, “Manusia itu harus nemu koping-nya sendiri. Bentuk
pelampiasan, bentuk pengelolaan stres. Bisa jadi koping-mu memang lewat
tulisan. Banyak orang yang belum nemu koping-nya, dan itu yang bikin gampang
kena mental, atau malah depresi.”
Aku mengangguk.
Dalam hati aku merasa dia benar. Menulis mungkin bukan sekadar kegiatan untukku, tapi semacam jalan keluar.
Kemarin aku mencoba menulis, entah hasilnya bagus atau tidak, tapi setelahnya
tubuhku terasa lebih ringan. Ada sesuatu yang terangkat. Rasanya lega.
Akhirnya Bercerita
Pagi tadi aku
berangkat ke Sardjito. Seperti biasa, kutemani perjalananku dengan motor
kesayanganku yang kuberi nama odong-odong. Suaranya tidak semerdu
motor-motor baru, tapi selalu berhasil menghiburku. Ada kesetiaan dan kenangan
yang menempel pada tiap denting mesinnya.
Jalanan pagi itu
mulai hidup. Orang-orang sudah memulai aktivitas mereka: ada yang berjalan kaki
ke ladang, ada yang menunggu gojek untuk ke tempat kerja/ sekolahan. Saat itu, langit cukup cerah, dan udara pagi
tidak sedingin hari-hari sebelumnya. Ada semacam kehangatan halus yang menyelusup diam-diam ke dalam dada.
Sebelum sampai ke
rumah sakit, aku sempat mampir ke sebuah tempat yang menjual makanan dan
jajanan pagi—orang menyebutnya tenongan. Di sana, ibu-ibu berkerumun
memilih makanan untuk keluarga mereka: nasi kuning, lemper, gorengan, serabi,
dan berbagai jenis penganan lain yang mengisi meja panjang penjual.
Keramaian itu
terasa hidup. Ada yang bertanya, “Ini nasi apa, Bu?”
Ada yang menawar, “Ini berapa harganya satu bungkus?”
Ada yang tampak tergesa, mendesak perlahan ke depan agar segera mendapat
jatahnya—barangkali terburu waktu, atau sudah ditunggu anak di rumah.
Aku berdiri di
tengah keramaian pagi itu. Diam-diam,
kuamati wajah-wajah mereka. Wajah-wajah yang akrab dengan rutinitas, dengan
tanggung jawab, dan juga harapan kecil setiap pagi. Di situ, aku merasa sedang
menyaksikan dinamika kehidupan yang nyata: penuh kesibukan, tapi juga penuh
kasih.
Kadang, kita tak
perlu pergi jauh untuk menyadari betapa manusia sedang terus berjuang menjalani
hidupnya. Cukup berdiri sejenak di tenongan, memperhatikan lalu-lalang manusia
yang sedang mengejar hari, dan kita akan paham bahwa setiap orang sedang memanggul
beban yang tak selalu tampak.
Dan pagi itu, di
tengah hiruk-pikuk sederhana, aku menemukan kembali alasan untuk menulis: untuk
merekam, untuk memahami, dan untuk merawat rasa—rasa hidup sebagai manusia
biasa yang masih percaya pada kebaikan hari esok.
Sehabis itu, aku
melanjutkan perjalanan menuju Sardjito. Motorku melaju pelan, bukan semata
karena jalanan padat, tapi karena aku memang memilih untuk tidak tergesa-gesa.
Pagi itu, banyak orang berlomba dengan waktu—menuju tempat kerja, sekolah, atau
aktivitas lainnya. Lampu merah yang biasanya sepi, kini berubah menjadi simpang
yang sibuk: kendaraan menumpuk, suara klakson bersahutan, dan aroma knalpot
yang khas
Ramai, iya. Tapi
raga ini rasanya berat dan lelah.
Aku tak ingin
ikut terburu-buru. Rasanya otak masih bisa berpikir jernih jika segalanya
dijalani perlahan. Aku tahu, semakin kita terburu-buru, semakin besar
kemungkinan terjadi hal-hal yang tak diinginkan—lupa menoleh, lupa memberi
jalan, lupa bernapas.
Lagi pula, motor
tuaku—yang dengan penuh kasih kusebut odong-odong—memang paling nyaman
dikendarai pelan. Ia tak pernah memintaku tergesa. Suara mesinnya yang khas, getaran
yang ringan, semuanya seolah mengajakku untuk menikmati perjalanan, bukan
sekadar mencapai tujuan.
Menyusuri jalan
kota pagi itu, dengan kecepatan yang lambat, justru memberiku ruang: untuk
melihat orang-orang, untuk mengamati kehidupan yang sedang berjalan, dan untuk
sekadar menyadari bahwa aku masih di sini—masih bernapas, masih bergerak,
meskipun pelan.
Sampailah aku di
Sardjito.
Suasana langsung
berubah. Dari jalanan yang penuh dengan orang-orang tergesa, aku masuk ke ruang
yang lain—ruang di mana waktu seolah berjalan pelan, tapi penuh beban. Para
pekerja rumah sakit mulai berdatangan. Mereka berebut ruang parkir dengan para
penunggu pasien. Di sisi lain, antrean ambulans dan mobil pribadi mengular,
satu per satu menurunkan pasien dari berbagai daerah.
Plat nomor
kendaraan menandakan datangnya orang-orang dari penjuru yang jauh: ada dari
Sleman, Gunungkidul, Bantul, bahkan luar kota dan luar provinsi. Ambulans silih
berganti masuk, beberapa di antaranya membawa pasien yang terbujur lemah,
diselimuti doa dan kecemasan.
Di samping
parkiran motor, aku melihat sebuah masjid kecil dan sebuah ruang yang
disediakan untuk para penunggu pasien. Di sana, orang-orang duduk bersila,
terlelap sejenak di lantai beralas tikar, ada pula yang khusyuk berdoa. Di
wajah mereka terpancar kelelahan, tapi juga harapan yang tak putus.
Beberapa tangan
menengadah diam-diam. Mungkin untuk kesembuhan orang terkasih, mungkin untuk
kekuatan bagi diri sendiri agar tetap bertahan dalam penantian yang panjang dan
tak pasti. Di tempat seperti ini, manusia tampak kecil, rapuh, tapi juga
tangguh dalam cara yang sederhana—melalui doa, diam, dan kehadiran.
Dari sini aku
melihat, dunia ini penuh warna.
Bukan hanya dari keramaian tenongan pagi atau hiruk-pikuk Sardjito yang sibuk,
tapi dari harapan-harapan yang tersembunyi di balik setiap wajah yang kulihat.
Setiap orang membawa peran, kisah, dan tujuannya masing-masing. Ada yang
buru-buru membeli sarapan untuk anaknya, ada yang duduk lesu menanti giliran
berobat, ada pula yang bekerja keras menertibkan parkiran rumah sakit di pagi
yang riuh.
Seakan-akan dunia
ini sudah punya sistemnya sendiri—tertata, saling terhubung, dan berjalan dalam
pola yang kadang kita tak sadari. Semesta seolah mengatur caranya sendiri untuk
membuat kita belajar. Bahwa hidup bukan soal kita saja, tapi juga tentang bagaimana
kita melihat orang lain, merasakan kehadiran mereka, dan memahami bahwa di luar
tubuh kita yang lelah, ada banyak jiwa lain yang juga sedang berjuang.
Dan dari
perjalanan pagi itu, aku merasa… hidup ini layak untuk dilihat lebih dalam.
Dari banyak sisi. Dari tenongan yang riuh hingga rumah sakit yang ramai tapi padat doa.
Yah, inilah
pengalamanku pagi ini. Bagian kecil dari hidup yang coba kupahami lewat
tulisan. Mungkin belum sempurna, mungkin belum utuh, tapi setidaknya menulis
membuatku sedikit lebih ringan. Menulis, rupanya, menjadi bentuk koping—cara
tubuh dan pikiranku berdamai dengan dunia yang kadang terasa bising dan
berjejal.
Tak terasa, waktu
sudah menunjuk pukul 19.00. Lipi menghubungiku untuk diskusi terkait pembuatan
film untuk EKM. Kemarin aku memang sempat menawarkan ide kepada teman-teman
mudaku—ide yang lahir dari keinginan untuk bercerita, untuk berbagi
kegelisahan, harapan, dan keindahan hidup lewat medium yang lain: film.
Hari ini terasa
panjang, tapi juga penuh. Dari sarapan di tenongan, perjalanan menuju Sardjito,
hingga rencana diskusi malam ini… semua seolah saling berkait, menunjukkan
bahwa hidup ini memang punya caranya sendiri untuk mengajarkan sesuatu.
Dan mungkin,
lewat menulis seperti ini, aku sedang belajar untuk mendengarkan hidup dengan
lebih saksama.
Comments
Post a Comment