Suara Kegelisahan dari Tanah yang Terluka


Tulisan ini adalah luapan kegelisahan, bukan sebuah karya akademik yang penuh catatan kaki, melainkan suara batin yang resah melihat arah negeri ini. Negara seperti kehilangan kompas. Banyak keputusan yang diambil atas nama pembangunan, tapi terasa jauh dari hati nurani. Aku tidak anti Pembangunan, aku percaya pembangunan bisa menjadi jalan menuju kesejahteraan. Tapi, apakah masih layak disebut “pembangunan” jika yang dibangun adalah pabrik, tapi yang dihancurkan adalah alam, kehidupan rakyat kecil, dan masa depan anak cucu?

Kegelisahan ini berawal dari dua tempat yang begitu dekat di hati dan tanah air ini: Raja Ampat dan Pracimantoro, Wonogiri. Dua wilayah yang kaya akan alam dan budaya, namun kini berada di ambang krisis ekologis akibat ekspansi industri tambang dan semen.

Raja Ampat: Dari Surga Menjadi Korban

Raja Ampat selama ini dikenal sebagai surga bawah laut, rumah bagi ribuan spesies dan salah satu wilayah paling lestari di dunia. Namun kini, kabar tentang pertambangan nikel di wilayah ini menghantam kesadaranku. Nikel memang dibutuhkan untuk baterai mobil listrik, teknologi yang katanya ramah lingkungan. Tapi ironisnya, untuk membuat satu kendaraan “hijau”, ribuan hektar hutan dihancurkan, laut dicemari, dan masyarakat lokal disingkirkan dari ruang hidupnya.

Semboyan mobil listrik sebagai solusi “hijau” ternyata hanya menipu di permukaan. Produksi yang dianggap menyelamatkan lingkungan justru melahirkan bentuk baru dari kolonialisme ekonomi: pengambilan sumber daya dari pinggiran untuk memenuhi gaya hidup pusat-pusat industri global.

Lalu para pejabat berkoar bahwa ini semua demi rakyat. Tapi rakyat yang mana? Siapa yang mendapat untung dari tambang-tambang itu? Siapa pula yang menanggung kerusakannya?

Pracimantoro: Karst yang Terancam

Tak hanya Raja Ampat, Pracimantoro di selatan Wonogiri juga menghadapi ancaman. Isu pembangunan pabrik semen kembali muncul setelah sebelumnya gagal dilakukan di Tirtosuworo, yang berhasil mempertahankan status sebagai bagian dari Kawasan Karst Gunungsewu dan diakui UNESCO sebagai Geopark Global pada 2023. Kini, ancaman itu datang lagi dengan dokumen resmi dari Pemerintah Jawa Tengah yang memberi izin kepada PT Anugerah Andalan Asia dan PT Sewu Surya Sejati untuk menambang dan membangun pabrik semen seluas ratusan hektar.

Alasannya klasik: investasi dan penyerapan tenaga kerja. Nilai investasi disebut-sebut mencapai Rp6 triliun, dengan janji menyerap banyak tenaga kerja. Tapi benarkah rakyat sekitar akan menikmati kesejahteraan itu? Atau mereka hanya akan menjadi buruh murah di atas tanah yang dulu mereka jaga dengan cinta?

Yang paling menyayat bagiku adalah kenyataan bahwa kawasan karst bukan sembarang tanah. Ia adalah sistem ekologis yang menyimpan air, menahan hujan, dan menjadi sumber mata air bagi ribuan warga. Jika batu gamping ditambang, maka kita tidak hanya kehilangan batu, tapi juga sumber kehidupan: air.

Menanam Air, Bukan Menanam Beton

Aku teringat pada program “Menanam Air” yang digagas oleh Romo Muji Santoro, SJ. Sebuah gerakan spiritual dan ekologis untuk memulihkan sumber air di daerah yang kekurangan, seperti Wonogiri selatan. Bukan sekadar gerakan fisik, menanam air adalah wujud cinta pada ciptaan dan tanggung jawab antar generasi. Namun, ketika pabrik semen berdiri, bukan air yang ditanam, tapi beton. Dan dari beton itu lahirlah polusi, kekeringan, serta tanah yang tak lagi ramah.

Dalam tradisi budaya Jawa, karst bukan hanya batu. Ia adalah bagian dari kosmos—struktur sakral yang menyimpan roh bumi. Gunung, batu, air, dan tanah adalah bagian dari satu kesatuan hidup yang tidak boleh dipisahkan. Merusak satu, maka yang lain ikut runtuh. Keharmonisan yang dijunjung dalam budaya lokal kini dipertaruhkan demi keuntungan sesaat.

Pesan Paus Fransiskus: Ekologi dan Keadilan Sosial

Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menyerukan agar kita mendengarkan jeritan bumi dan jeritan orang miskin. Ia menegaskan bahwa krisis lingkungan adalah krisis moral. Ketika alam rusak, yang paling pertama menjadi korban adalah mereka yang hidupnya paling dekat dengan alam. Petani kehilangan air, nelayan kehilangan ikan, dan anak-anak kehilangan masa depan.

Paus juga menegaskan bahwa “bumi adalah rumah bersama,” bukan milik segelintir elite yang punya modal dan kuasa. Maka tugas kita bukan hanya merawat bumi, tapi juga melindungi mereka yang tak bersuara dalam sistem ekonomi-politik yang timpang.

Apakah Anak Cucu Kita Akan Menikmati Karst, atau Menghirup Polusi?

Pertanyaan yang terus menggema dalam hatiku adalah: apakah anak cucu kita masih akan melihat indahnya bukit kapur Wonogiri, atau hanya akan mewarisi polusi dan kehancuran? Apakah mereka akan mengenal suara gemericik mata air, atau hanya dengung pabrik yang tak pernah tidur?

Jika pembangunan hanya dimaknai sebagai pertumbuhan angka-angka ekonomi, maka yang hilang adalah ruh kemanusiaan. Kita sedang membangun dunia yang lebih kering, lebih keras, dan lebih sepi. Sepi akan keadilan. Sepi akan air. Sepi akan harapan.

Suara Kecil dari Tanah Air

Tulisan ini bukan solusi, tapi semacam doa. Doa dari anak bangsa yang mencintai tanahnya dan merindukan masa depan yang lestari. Aku tahu, suaraku kecil. Tapi aku percaya bahwa suara kecil yang jujur bisa menjadi gema. Jika kita semua mulai bertanya, mulai peduli, dan mulai melawan kebijakan yang tak adil, maka perubahan bisa terjadi.

Pembangunan sejati bukan tentang pabrik dan beton, tapi tentang menjaga kehidupan, alam, manusia, dan budaya. Semoga kita tak terlambat menyadari: bahwa yang diwariskan ke anak cucu bukan sekadar infrastruktur, tapi juga tanah yang subur, air yang jernih, dan langit yang bersih.

  

Comments