Ohhhhhh...
Helaan napas
panjang mengawali malam yang sunyi. Dalam dingin musim bediding dan
kepala yang penuh sesak, aku memulai tulisan ini. Dengan jujur, di tengah
kebundhetan dan kepasrahan, aku hanya ingin memberi sedikit ruang untuk diriku
sendiri. Menulis, bagiku, bukan soal mencari perhatian—melainkan tentang
menciptakan ruang: ruang refleksi, ruang pemaknaan, ruang penyembuhan.
Aku ditemani
sebatang rokok—bukan rokok rempah kesukaan karena waktu itu kehabisan stok—dan
segelas kopi pahit yang seolah tahu betul rasa hidup yang sedang kutelan. Di
antara asap dan aroma, satu kalimat menyeruak dari dalam dada:
“Menjadi
dewasa itu berat.”
Kenapa? Karena
realitas ternyata tidak seindah peta yang diajarkan waktu kecil.
Bersama
teman-teman, kami saling bertukar cerita. Dari sana aku tahu: kegelisahan ini
tidak tunggal. Kami semua merasakannya, hanya saja dengan bentuk dan dinamika
yang berbeda.
Kami tidak pernah
membayangkan hidup akan sampai di titik ini. Pikiran-pikiran yang dulu tak
pernah muncul, kini menghantui sebelum tidur.
Bagaimana kalau orang yang kita cintai pergi?
Bagaimana jika yang tersisa hanya kenangan?
Dan ketika
orang-orang terdekat kami jatuh sakit, ketakutan itu menjadi nyata.
Kami ingin membantu. Kami ingin membahagiakan mereka. Tapi dari mana? Bagaimana?
Satu-satunya yang
bisa kami lakukan adalah berbicara dengan Tuhan.
Memohon perlindungan, memohon kesehatan, sambil menahan air mata dan rasa
bersalah—karena kami merasa belum bisa memberi apa-apa.
Di sisi lain,
hidup kami sendiri pun belum stabil. Kami belum cukup kuat untuk menopang terlalu banyak hal. Pekerjaan kami tidak menjanjikan masa depan. Pendapatan kami pas-pasan.
Kami bekerja
bukan untuk menabung, tapi untuk bertahan. Dan ketika ada yang berkata dengan ringan,
“Coba atur keuangan pakai ahli, biar bisa nabung,” kami hanya bisa tersenyum pahit.
Bukan tidak mau,
tapi bagaimana mau menabung kalau untuk hidup saja kami harus jungkir balik?
Apa yang kami
jalani saat ini jauh dari apa yang kami bayangkan dulu. Kami punya cita-cita, kami punya harapan. Tapi saat ini, kami sedang ada di jalan yang berbeda—jalan yang tak mudah,
penuh pertanyaan, dan ketakutan yang belum tentu bisa dijawab.
Besok kami
bagaimana?
Minggu depan bagaimana?
Entahlah.
Yang bisa kami lakukan hanyalah menjalaninya—semampunya.
Dan yang lebih pelik, kami mulai menyadari bahwa kehidupan kami adalah sebuah anomali dari struktur masyarakat yang tertata rapi. Di luar sana, segalanya tampak begitu sistematis: sekolah punya kurikulum, agama punya doktrin, media sosial punya algoritma. Bahkan hidup pun seperti memiliki cetak biru yang tak tertulis: lahir, sekolah, bekerja, menikah, punya anak, menua, lalu mati.
Namun kami? Kami
tidak sepenuhnya berada dalam urutan itu.
Kami masih berjuang di titik yang, menurut masyarakat, seharusnya sudah
kami lewati.
Salah satu yang
paling menyakitkan adalah pertanyaan tentang keturunan. Kami ingin. Kami sangat
ingin.
Tapi keinginan tak selalu sejalan dengan kenyataan.
Kami masih dalam proses. Dalam harapan. Dalam doa yang belum tahu kapan
dijawab.
Keluarga besar
kami bisa memahami. Mereka memberi ruang. Tapi masyarakat? Sering kali kejam, bahkan dalam bentuk kalimat bercanda:
“Kok belum
punya anak?”
“Apa ora iso gawe?”
“Kudu diajari, ta?”
Kalimat-kalimat
itu bukan sekadar ucapan. Ia menyayat pelan. Ia menusuk lebih tajam dari yang bisa kami jawab dengan sopan. Kami menahan amarah. Menahan diri untuk tidak marah-marah pada sistem nilai yang terlalu sempit.
Lalu kami memilih
jalan yang sunyi: merefleksikan.
Kami sadari bahwa
hidup kami yang berjalan di luar alur kebanyakan justru memberi pelajaran yang
tidak semua orang bisa alami. Kami belajar bahwa belum memiliki anak bukan
berarti salah satu dari kami harus disalahkan. Bukan tentang siapa yang ‘sakit’
atau siapa yang ‘gagal’. Kadang ini bukan perkara biologis, melainkan misteri
ilahi yang tak bisa kami baca sekarang.
Mungkin ini
adalah jalan yang Tuhan izinkan, agar kami belajar hal-hal yang lebih dalam:
belajar sabar, belajar menerima, belajar memahami makna cinta yang tak
bersyarat. Atau mungkin... ini adalah kesepakatan diam-diam antara kami dan semesta,
bahwa cinta bisa tetap tumbuh meski tak selalu hadir dalam bentuk yang
diharapkan banyak orang.
Terkadang, dari
kejauhan, hidup orang lain tampak begitu mudah.
“Kok mereka enak ya? Bisa sampai ke titik itu, bisa punya ini dan itu, bisa
mencapai apa yang diharapkan…”
Tapi seiring
waktu, ketika obrolan jadi lebih dalam, dan kami saling berbagi cerita, aku
menyadari satu hal: itu semua hanya sawang sinawang—ilusi dari pandangan
yang belum tentu tahu kenyataan.
Apa yang tampak
“enak” ternyata belum tentu nyaman. Apa yang terlihat “berhasil” belum tentu
tanpa luka. Mereka yang tampaknya baik-baik saja, ternyata juga menyimpan
kegelisahan yang sama. Mereka juga pernah merasa bingung, cemas, takut
kehilangan, bahkan merasa tidak cukup meski sudah punya banyak.
Dan dari situlah
refleksi dimulai.
Bahwa mungkin kita semua sedang berjuang, hanya dalam bentuk yang berbeda-beda.
Bahwa hidup ini bukan kompetisi siapa yang lebih cepat atau lebih tinggi, tapi
lebih kepada siapa yang mampu terus berjalan dengan kejujuran.
Momen-momen
saling membuka inilah yang menyadarkan kami bahwa hidup bukan soal siapa paling
berhasil menurut standar sosial, tapi siapa yang paling mampu bertahan dengan
hati yang utuh. Bahwa keberhasilan tidak melulu soal pencapaian besar, tapi
juga tentang bisa tetap waras di tengah tekanan.
Di situ, aku
belajar satu hal penting:
membandingkan hidup dengan orang lain tanpa mengenal luka mereka adalah cara
tercepat untuk kehilangan rasa syukur.
Dan sejak saat itu, aku mulai belajar memandang hidup dari dekat. Dari dalam.
Dari luka-luka yang disembunyikan rapat, tapi akhirnya menjadi jembatan untuk
saling memahami.
Padahal, kadang
yang kulakukan adalah bentuk upaya memperjuangkan kebenaran, menuntut hak, atau
melawan ketidakadilan. Tapi caraku menyampaikan masih salah. Dan secara
pribadi, aku bertanya pada diriku sendiri: bagaimana caranya agar aku bisa
menyusun kata-kata dengan lebih tenang, lebih tepat, dan tidak menyakiti?
Jawabannya tidak
mudah. Kadang terasa "ahhhhhhhh, susah." Tapi aku tidak menyerah. Aku
tahu aku sedang belajar. Aku sedang berusaha menahan, mengolah, dan memahami
diriku sendiri. Aku ingin tetap bisa menyuarakan isi hati—tapi dengan cara yang
tidak melukai, baik diriku sendiri maupun orang lain.
Terus sampai
kapan aku seperti ini? Aku
tidak tahu.
Aku hanya tahu
bahwa hidup tidak akan pernah habis memberi tantangan. Hari ini aku diuji
dengan kebundetan batin, esok mungkin dengan kehilangan, lusa dengan harapan
yang belum juga menyapa kenyataan. Tapi dalam fase ini—fase yang tidak
mudah—aku bersyukur bisa menuliskannya. Setidaknya aku masih bisa mengurai
benang kusut di kepala lewat kata-kata.
Dan di tengah
kerumitan ini, Tuhan tidak meninggalkanku sendirian. Aku dikelilingi oleh
orang-orang baik. Istriku—yang selalu menjadi tempatku pulang, keluarga yang
selalu menguatkan, Dion, serta teman-teman Samabodi Mbak Vini, serta teman teman lainya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang menjadi ruang saling
sapa, saling peluk, dan saling doa.
Mereka bukan sekadar teman.
Mereka adalah saksi bahwa kami—para “anomali”—bukan jiwa-jiwa yang tersesat.
Kami hanya sedang menempuh jalan yang berbeda, jalan yang tak tercetak rapi di peta kehidupan kebanyakan orang.
Seringkali orang
bertanya, “Rumahmu di mana?”
Sebagian menganggap rumah adalah bangunan tempat tinggal, tempat berlindung
dari hujan dan panas. Tapi bagiku dan istriku, rumah adalah tempat kami bisa
menyalakan pelita di tengah kegelapan batin. Rumah adalah tempat kami boleh
menangis tanpa dihakimi, tertawa tanpa harus pura-pura bahagia.
Lebih dari itu,
rumah adalah ruang di mana kami bisa saling bercerita dengan teman-teman sesama
anomali—mereka yang jalannya tak sesuai urutan sosial yang disusun rapi:
sekolah, kerja, menikah, punya anak, kaya, lalu menua dan mati. Kami mungkin
belum punya anak, mungkin pekerjaan kami tak mapan, dan hidup kami jauh dari
prediksi buku panduan hidup versi masyarakat. Tapi justru di situlah
keindahannya.
Di rumah kecil
kami, tidak ada yang sempurna. Tapi ada cinta. Ada keberanian untuk jujur. Ada
doa yang dipanjatkan meski suara tercekat. Ada permenungan di tengah malam
sambil menatap langit yang sama.
Mungkin aku belum
tahu sampai kapan aku akan merasa seperti ini. Tapi aku tahu bahwa bersama mereka, aku tidak
berjalan sendirian.
Dan kalau itu bukan anugerah, aku tidak tahu apa lagi namanya.
Comments
Post a Comment