Mendidik adalah sebuah pengajaran dari orang yang lebih
tua yang mempunyai tanggung untuk memberikan pengaruh kepada anak muda agar si
anak tersebut bisa menjadi dewasa. Mendidik tidak dapat dipisahkan dari pendidikan[1]. Manusia
muda adalah masa-masa di mana dia harus mendapatkan sebuah pendidikan yang
mengantarkannya ke dalam sebuah kedewasaan. Pendidikan bukan hanya sebuah
tanggung jawab yang diberikan orang tuanya ketika anak berada di rumah, akan
tetapi anak usia muda yang mengenyam pendidikan akan menghabiskan banyak
waktunya di dunia pendidikan yaitu sekolahan dan belajar menjadi bagian
sangat penting di dalam kehidupan siswa
tersebut[2] .
Sekolah
merupakan sebuah lembaga yang mempunyai fungsi untuk mengembangkan kepribadian
siswa didik. Mata pelajaran, guru, dan kurikulum yang diterapkan di dalam
sekolah menjadi sangat penting untuk bisa mendidik para siswa tersebut. Posisi
guru adalah menjadi seorang yang dituakan, yang bisa membimbing seoarang anak
didik untuk menjadi sebuah manusia purnawan, yaitu yang bisa menjadi manusia
yang seutuhnya yang bisa memanusikan manusia lainya. Pada keadaan seperti itu, guru menjadi tumpuan utama dalam mendidik
siswanya. Guru juga dapat menjadi kunci keberhasilan dalam mendidik juga
menjadi kunci kehancuran dalam hal mendidik.
Sangat
menarik bila kita pada saat ini melihat fenomena yang terjadi di dalam dalam
dunia pendidikan, kami mencoba melihat fenomena tersebut dari sebuah
catatan-catatan romo Driyakara yang terdapat pada buku yang berjudul Pendidikan
ala warung pojok. Dalam cerita lulus Ujian? Yang bercerita tentang keprihatinan
romo Driyakara terhadap pendidikan yang terjadi di Indonesia. Berawal dari
kisah pak Nala bertemu pak Truna yang senang ketika anaknya lulus ujian dan
naik kelas 2 SMP. Anak pak Truna selama 4 tahun tidak pernah naik kelas, dan
kerap pindah sekolah, dari sekolah SMP Kumbakarna, ke SMP Janaka, dari SMP Janaka
Ke SMP Bubrah, dari SMP Bubrah ke SMP Tolol, dan terakhir masuk ke SMP Makmur[3].
Padangan pak Nala tentang fenomena ini, pak Nala mengalami keprihatinan, dimana
pada masa itu, banyak sekolah hanya sanggup menerima siswa dengan syarat siswa
tersebut bisa membayar uang sekolah yang ditentukan oleh pihak sekolah. Yang
dibicarakan romo Driyakara dilatar belakangi fenomena tahun 1950an, akan tetapi
ketika tarik permasalahan tersebut pada zaman sekarang masih sangat cukup
relevan. Banyak sekolah pada saat ini
yang menawarkan program unggulan. Kata
unggulan yang selama ini kita rasakan sebagai kaum menengah kebawah sebagai sekolah
yang identik dengan bayaran yang mahal.
Kita dapat masuk ke sekolah unggulan tersebut bila kita bisa membayar uang
sekolah ditawarkan oleh pihak sekolah. Terus bagaimana dengan nasib, siswa yang
berada di kalangan menengah kebawah?. Pasti mereka akan menikmati pendidikan
yang jauh dari harapan sebagai sekolah yang berkualaitas
Pandangan masyarakat terkait pendidikan adalah,
masyarakat masih mendewakan sebuah ijazah dari pada mengedepankan ketrampilan
dan ilmu yang dipelajari. Orang akan bangga ketika anak didiknya cepat
memproleh gelar maupun ijazah tanpa memandang kemampuan yang dimilikinya.
Driayakara menulis essai tentang konsteks permasalahan tersebut dengan sebuah
cerita yang berjudul Diploma!. Isi dari cerita tersebut adalalah ketika pak
Nala bertemu dengan Pak Setredangsa. Pada saat itu pak Sedradangsa tengah
mengalami kegembiraan dikarenakan anak nya meraih gelar Diploma. Padangan Pak
Sedradangsa orang yang telah mendapatkan ijazah akan mencukupi sebuah kebutuhan
hidup. Ini menjadi sebuah keprihatinan sendiri bagi pak Nala, karena orang
berambisi untuk mendapatkan sebuah ijazah dan merasa sempurna dengan ijazaah
sempurna dengan ijazah tersebut , dan sudah tidak perlu belajar lagi, dan
beranggapan sudah mempunyai kepadandaian untuk seumur hidupnya[4].
Bila dikaitkan dengan sekarang ini,menjadi seorang guru tidak hanya berbekal
S.Pd saja, atau pun skripsi yang sempurna dengan nilai IPK cum.laude belum menjamin seorang guru tersebut memiliki kemapuan
untuk membimbing anak didiknya, untuk bisa menyelami kehidupan anak didiknya
tersebut. Ijazah dan nilai yang baik belum juga menjamin soerang guru bisa
menjadi panutan anak didik. Sehingga yang diperlukan adalah, bagaimana posisi guru tersebut dapat memposisikan dirinya sebagai seorang sahabat bagi peserta didiknya untuk belajar bersama-sama di dalam kehidupan di sekolah maupun di dalam masyarakat.
[1] A
Sudiaharja SJ, dkk,peny. Karya Lengkap Driayakara, Esai-Esai Filsafat Pemikir
yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta : PT Gramendia Psutaka
Utama, 2006, hal 438
[2]
Ibid hal 439
[3] G
Budi Subanar Sj, Pendidikan Warung Pojok. Yogyakarta : Universitas Sanata
Dharma, 2006, hal 61
[4]
Ibid hal 73
Sekolah mengembangkan kepribadian siswa, tapi siswa2 sekarang mentel nya tempe karena orang tua nya ngak mendukung jadi generasi yg kuat #Halah
ReplyDelete