Aku anak nakal di sekolah


           

Tulisan ini menawarkan sebuah refleksi kritis terhadap label "anak nakal" dalam konteks pendidikan formal dan mendesak pergeseran paradigma dari pendekatan penghukuman (retributif) menuju pendekatan pendampingan dan pengembangan potensi yang holistik. Isu ini berakar pada filosofi pendidikan, psikologi perkembangan, dan sosiologi pendidikan, yang menuntut telaah lebih dalam mengenai peran guru, sistem evaluasi, dan tujuan fundamental pendidikan.


1. Dekonstruksi Label "Nakal" dan Implikasinya

Label "nakal" (delinquent) seringkali merupakan sebuah simplifikasi terhadap manifestasi perilaku yang kompleks. Dari perspektif psikologi perkembangan, perilaku yang dianggap mengganggu (seperti membuat gaduh atau melanggar aturan) pada masa remaja, khususnya SMA, seringkali merupakan bagian dari proses pencarian jati diri (identity formation) dan eksplorasi batasan sosial.

Perilaku "nakal" dapat diinterpretasikan sebagai komunikasi terdistorsi (distorted communication), di mana siswa mengekspresikan kebutuhan yang tidak terpenuhi—seperti kebutuhan akan perhatian, pengakuan, otonomi, atau stimulasi—melalui cara yang disalahpahami oleh institusi sekolah.

Pandangan guru yang "miring" terhadap siswa ini, seperti yang disebutkan dalam tulisan, mencerminkan apa yang dikenal sebagai efek Pygmalion negatif atau self-fulfilling prophecy. Ketika seorang siswa distigmatisasi sebagai "penghambat," ekspektasi negatif ini dapat secara tidak sadar memengaruhi interaksi guru-siswa, memvalidasi perilaku negatif, dan pada akhirnya, menghambat potensi akademik serta sosial siswa tersebut.


2. Kritik terhadap Pendekatan Hukuman Tradisional

Inti dari kritik ini terletak pada kegagalan pendekatan hukuman dalam mengatasi akar masalah perilaku. Penggunaan hukuman, baik fisik maupun berupa sanksi tertulis (termasuk sistem poin pelanggaran), merefleksikan model disiplin reaktif dan tradisional yang berfokus pada kepatuhan eksternal dan pengendalian, bukan pada internalisasi nilai atau pengembangan diri.

Dari sudut pandang psikologi, hukuman fisik atau verbal yang berlebihan dapat memicu:

  • Resentimen dan agresi balik terhadap otoritas.

  • Penghindaran (avoidance) daripada pembelajaran dari kesalahan.

  • Penurunan motivasi intrinsik dan daya kritis karena siswa didorong untuk patuh tanpa mempertanyakan atau memahami dampak perilakunya.

Solusi yang disarankan, yaitu pendampingan yang memahami latar belakang dan kebutuhan unik setiap murid, mengarah pada konsep Disiplin Positif dan Disiplin Restoratif. Pendekatan ini melihat kesalahan sebagai peluang belajar dan berfokus pada perbaikan hubungan (restorasi) serta pemahaman konsekuensi perilaku, bukan sekadar pemberian sanksi.


3. Pendidikan Holistik dan Pengembangan Potensi (Mengutip Driyarkara)

Tulisan ini secara tepat mengutip pandangan Driyarkara, yang menegaskan bahwa pendidikan adalah proses membentuk manusia muda agar menemukan potensi hidupnya (homo humanus). Refleksi ini menyoroti bahwa fokus sistem pendidikan yang terlalu sempit pada nilai akademik dan mata pelajaran utama telah mengabaikan prinsip pendidikan holistik (holistic education).

  • Nilai Akademik vs. Pertumbuhan Utuh: Ketika evaluasi hanya didasarkan pada koefisien inteligensi (IQ) dan hasil ujian, kecerdasan emosional (EQ), minat, dan bakat non-akademik (seni, olahraga, kepemimpinan, entrepreneurship) sering terabaikan.

  • Anak dengan "Banyak Akal": Siswa yang dicap "nakal" seringkali memiliki tingkat kreativitas tinggi, keberanian mengambil risiko, dan keterampilan sosial yang kuat—sebuah indikasi dari potensi yang luar biasa. Masalahnya bukan pada kurangnya akal, melainkan pada salahnya arah penyaluran akal tersebut.

Tujuan akademis sejati bukanlah menciptakan murid yang patuh secara pasif, tetapi individu yang berkarakter kuat, kritis, dan mampu menemukan telos (tujuan akhir) hidupnya. Guru, dalam konteks ini, berperan sebagai fasilitator dan pendidik karakter (character educator), bukan hanya sebagai transfer knowledge.


Kesimpulan: Dari Penghukuman menuju Pemahaman

Transformasi pendidikan membutuhkan pergeseran mendasar dalam cara sekolah dan guru mempersepsikan perilaku siswa. Anak yang "nakal" bukanlah musuh proses belajar, melainkan indikator bahwa sistem pendidikan atau lingkungan sosial siswa gagal memenuhi kebutuhan perkembangannya.

Mengutip Paulo Freire, pendidikan harus menjadi praktik kebebasan, bukan praktik dominasi. Dengan menerapkan pendekatan yang bijaksana, empatik, dan berfokus pada potensi unik setiap individu, sekolah dapat mengubah "anak nakal" yang mencari perhatian menjadi "anak dengan banyak akal" yang memberi kontribusi positif bagi masa depan.

Hans Salvatore

Comments