Pernahkah kamu disebut anak nakal di sekolah? Jika iya, berarti kita punya cerita yang sama. Anak-anak seperti kita sering dianggap sebagai pengganggu di sekolah. Mulai dari membuat gaduh, keluar-masuk ruang BP (Bimbingan dan Penyuluhan), hingga mendapat teguran, hukuman, atau bahkan poin pelanggaran. Tak jarang, orang tua kita dipanggil ke sekolah, bukan untuk menerima rapor, melainkan mendengarkan keluhan guru tentang ulah kita.
Pandangan guru terhadap anak nakal seringkali miring. Anak-anak seperti ini dianggap penghambat proses belajar-mengajar. Dalam pandangan beberapa guru yang menganut pendekatan tradisional, murid nakal seolah tidak memiliki tempat sejajar dengan murid-murid yang dianggap alim atau pintar. Ada pembedaan perlakuan yang terjadi di sekolah.
Hukuman, baik fisik maupun tertulis, kerap dijadikan solusi mengatasi anak nakal. Pola ini terus berulang dari masa ke masa. Sayangnya, banyak guru hanya berhenti pada hukuman tanpa memberikan pendampingan yang memahami latar belakang dan kebutuhan unik setiap murid. Padahal, setiap anak datang dari kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda.
Banyak guru cenderung menilai murid hanya berdasarkan nilai akademik, tanpa memperhatikan proses tumbuh kembang anak. Akibatnya, minat dan bakat siswa sering terabaikan. Misalnya, seorang siswa yang memiliki bakat seni atau olahraga di luar mata pelajaran utama mungkin tidak mendapat perhatian yang layak.
Mengapa anak menjadi nakal di sekolah? Ada banyak faktor, seperti pencarian jati diri, pengaruh lingkungan, atau bahkan kondisi keluarga. Masa SMA, misalnya, adalah masa penuh dinamika dan eksplorasi diri. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih fokus pada mata pelajaran dan nilai, bukan pada pengembangan diri anak secara utuh. Hal ini sering membuat anak yang memiliki potensi besar di luar mata pelajaran merasa terabaikan dan mencari perhatian dengan cara yang salah.
Guru sebenarnya memiliki peran penting dalam membimbing anak-anak nakal ini ke arah yang lebih baik. Dibutuhkan keterampilan khusus untuk membantu mereka menemukan potensi dan mempersiapkan masa depan yang cerah. Hukuman, terutama hukuman fisik, bukanlah solusi. Hukuman seperti itu justru bisa membuat anak merasa dendam, kehilangan kreativitas, dan daya kritis.
Mengutip pandangan Driyarkara, pendidikan adalah proses membentuk manusia muda agar menemukan potensi hidupnya. Maka, pendidikan seharusnya tidak hanya soal hukuman atau nilai akademik, tetapi juga membantu murid mengembangkan karakter dan kepribadiannya. Anak-anak nakal ini sebenarnya adalah anak-anak dengan banyak akal. Mereka membutuhkan pendekatan yang bijaksana agar potensi mereka dapat diarahkan ke hal-hal yang positif.
Daripada menghukum, mengapa tidak mencoba memahami mereka? Dengan bimbingan yang tepat, anak-anak ini bisa menjadi sosok luar biasa di masa depan. Bukankah itu tujuan utama pendidikan?
Hans Salvatore
Comments
Post a Comment