Jeda yang Dipaksa
Ada kalanya jiwa meminta jeda. Saat itulah yang saya
rasakan sekarang.
Sebuah dorongan kuat untuk menyendiri, menarik diri dari
keramaian, dan membungkam riuhnya notifikasi. Satu per satu pesan terabaikan,
linimasa media sosial terasa tak lagi menarik. Hanya ada rasa lelah,
"males", dan emosi yang campur aduk—sebuah gelisah yang sulit saya
namai.
Awalnya, untuk memulai tulisan ini pun saya enggan. Saya
bingung, "Apa sebenarnya yang ingin kutulis?" Tetapi entah kenapa,
ada bisikan kecil yang mengatakan bahwa saya perlu menuangkan ini. Jadi saya
memberanikan diri. Saya mulai merangkai kata, mencoba memahami apa yang
sebenarnya bergejolak di dalam dada yang sesak ini.
Tulisan ini bukan sekadar curahan hati. Ini adalah upaya
saya untuk jujur pada diri sendiri, untuk memberi nama pada kegalauan yang
telah lama terpendam, dan mungkin—hanya mungkin—untuk menemukan jalan keluar
dari kebuntuan spiritual yang saya alami.
Energi dari Kebersamaan (Sebuah
Kenangan Hangat)
Bulan Oktober lalu adalah sebuah maraton. Jadwal begitu
padat dengan berbagai kegiatan gereja—rapat koordinasi, persiapan acara besar,
diskusi hingga larut malam. Anehnya, meski sibuk hingga hampir tak sempat
bernapas, saya sungguh menikmatinya. Ada dinamika yang hidup, diskusi yang
membuka wawasan, dan kesempatan untuk mengenal pribadi-pribadi baru, satu demi
satu.
Yang paling utama, semua kegiatan itu memiliki tujuan
yang jelas dan konkret. Ada sesuatu yang kami perjuangkan bersama, sebagai satu
tubuh. Kami tidak sekadar berkumpul karena kewajiban, tetapi karena visi yang
sama dan semangat yang menyatukan.
Dalam proses itu, batasan usia dan posisi seakan melebur.
Tidak ada "gap" senior-junior yang kaku, tidak ada hierarki yang
menindas. Semua dikerjakan bersama-sama, saling bahu-membahu, saling mengisi
kekosongan satu sama lain. Seorang senior bisa dengan rendah hati meminta
pendapat yang muda. Yang muda merasa dihargai dan diberdayakan, bukan sekadar
dijadikan "kuli" pelaksana.
Jujur, beberapa acara terasa sangat berat dan penuh
tantangan. Ada malam-malam di mana tubuh ingin menyerah, kepala pusing karena
terlalu banyak berpikir, dan tenaga seperti terkuras habis. Namun, di tengah
tekanan itu, selalu ada "ruang nyaman". Ada ruang untuk bercerita
tentang kesulitan tanpa takut dihakimi. Ada ruang untuk saling membantu tanpa
harus diminta. Ada ruang untuk gagal dan belajar bersama, tanpa jari-jari
menuding siapa yang salah.
Yang paling saya ingat adalah momen-momen sederhana: tawa
bersama di tengah kelelahan, seseorang yang tiba-tiba membawakan kopi saat saya
mulai mengantuk, pesan singkat "semangat ya" dari rekan tim di tengah
malam. Hal-hal kecil itu yang membuat saya merasa bahwa pelayanan ini bukan
beban, melainkan kebahagiaan.
Meskipun harus rela membagi pikiran antara pekerjaan
utama di siang hari dan fokus pelayanan hingga larut malam, bahkan
mendedikasikan akhir pekan sepenuhnya, semua itu terasa begitu
"asyik". Bukan karena acaranya sempurna atau semuanya berjalan
mulus—tidak. Tetapi karena ada kebersamaan sejati di dalamnya. Dinamika itulah
yang memberi energi. Kelelahan fisik terbayar oleh kehangatan relasi.
Saya ingat berpikir waktu itu: "Inilah gereja yang
sesungguhnya. Ini yang Yesus maksud dengan tubuh Kristus."
Bagian II: Pergeseran Rasa (Saat Realita
Membentur)
Setelah rangkaian acara besar itu selesai, hiruk-pikuk
mereda, dan semua kembali ke rutinitas masing-masing. Saya pun kembali ke
pelayanan rutin di lingkungan dan wilayah
Niat hati saya masih sama: ini adalah sebuah pengabdian
tulus tanpa pamrih. Saya melakukannya murni sebagai bagian dari panggilan. Saya
ingin memberi, melayani, menjadi bagian dari komunitas iman yang lebih besar.
Hati saya masih penuh semangat, atau setidaknya saya pikir begitu.
Namun, sesuatu terasa berbeda. Kok, rasanya ada yang
aneh, ya?
Gairah yang awalnya ada, yang saya bawa dari pengalaman
Oktober, seakan dibenturkan pada sebuah realita yang sangat mengganggu.
Dinamika yang saya rasakan sangat jauh berbeda dengan sebelumnya. Jika
sebelumnya saya merasa diterima dan dirangkul, kini saya justru merasa
terasing—seperti orang asing di rumah sendiri.
Setiap kali ada pertemuan, saya mulai merasa berat untuk
hadir. Setiap notifikasi grup WhatsApp justru membuat dada sesak, bukan semangat.
Saya yang biasanya aktif merespons, kini lebih sering diam. Bukan karena tidak
peduli, tetapi karena lelah. Lelah bukan karena beban kerjanya—saya sudah
terbiasa dengan kerja keras—tetapi lelah karena atmosfer yang mencekik.
Ada semacam kekosongan yang saya rasakan. Kekosongan
makna. Kekosongan kehadiran yang tulus. Saya hadir secara fisik, tetapi jiwa
saya seperti tidak ada di sana.
Dan yang paling mengkhawatirkan: saya mulai merasakan
jarak antara saya dan Tuhan. Bukan karena saya berhenti berdoa atau tidak ke
gereja. Tetapi karena pelayanan yang seharusnya menjadi jembatan antara saya
dan Tuhan, justru terasa seperti tembok penghalang.
Bagian III: Mengurai Benang Kusut
"Realita" Itu
Saya tidak ingin terjebak dalam kekesalan yang tidak
produktif. Saya tidak ingin hanya mengeluh tanpa mencoba memahami. Jadi saya
mencoba berpikir lama, menepi sejenak agar tidak emosi dan bisa melihat lebih
jernih. Saya bertanya pada diri sendiri: apa sebenarnya yang membuat saya merasa
seperti ini?
Pelan-pelan, saya mulai mengidentifikasi akar masalahnya.
Perasaan "aneh" dan "males" ini ternyata datang dari
serangkaian kenyataan di lapangan yang tidak bisa lagi saya abaikan:
1.
Beban yang Tak Terbagi
Saya sadar saya muda di antara mereka. Saya tidak
keberatan jika harus bekerja lebih keras—masa muda adalah masa untuk belajar
dan berkontribusi. Tetapi, bukan berarti semua lantas harus dikerjakan oleh
kami (yang muda), sementara yang lebih senior hanya duduk, mengawasi, dan
mengevaluasi.
Yang lebih menyakitkan, deskripsi tugas (jodesk) sudah
jelas ada. Pembagian peran sudah tertulis rapi. Tetapi dalam praktiknya? Entah
bagaimana, semua tugas "mengalir" ke orang-orang yang sama—yang muda,
yang dianggap "masih kuat", yang "lebih melek teknologi",
yang "lebih bisa".
Saat saya atau teman-teman mencoba mengingatkan tentang
pembagian tugas, responsnya beragam: ada yang berdalih sibuk dengan pekerjaan,
ada yang bilang "saya tidak bisa pakai aplikasi itu", ada yang diam
saja seakan tidak mendengar. Dan kami? Kami akhirnya mengerjakan saja, karena
jika tidak, pekerjaan tidak akan selesai dan acara tidak akan berjalan.
Yang membuat saya gelisah: apakah ini bukan sekadar soal
efisiensi, tetapi soal mentalitas? Mentalitas yang melihat yang muda sebagai
"tenaga" bukan sebagai "mitra"?
2.
Ruang Aman yang Hilang
Berbeda dengan pengalaman Oktober, di pelayanan rutin ini
ada atmosfer yang berbeda. Ketika ada kesalahan—dan kesalahan itu wajar dalam
proses belajar—rasanya seperti dihakimi. Bukan dievaluasi dengan konstruktif,
tetapi dihakimi dengan nada menyalahkan.
"Kenapa bisa begini? Harusnya tidak seperti
ini."
"Dulu tidak pernah ada masalah seperti ini."
"Ya, makanya harus lebih hati-hati."
Kalimat-kalimat itu dilontarkan dengan nada yang membuat
saya merasa kecil. Bukan dengan semangat membimbing, tetapi dengan nada
merendahkan. Tidak ada pertanyaan, "Apa yang bisa kita pelajari dari
ini?" atau "Bagaimana kita bisa memperbaikinya bersama?" Yang
ada hanya teguran, sindiran, bahkan gunjingan di belakang.
Ruang untuk bercerita dan saling mengisi berganti menjadi
ruang penghakiman. Saya yang awalnya terbuka dan berani mencoba, kini menjadi
takut salah. Dan ketika saya takut salah, saya jadi tidak berani berinovasi,
tidak berani mengambil inisiatif, tidak berani menjadi diri sendiri.
3.
Tunjuk, Bukan Tuntun
Ada budaya "suka menunjuk" untuk sebuah
tanggung jawab, terutama untuk posisi-posisi penting seperti ketua panitia atau
koordinator kegiatan.
"Hans saja yang jadi ketua. Hans kan bisa."
"Hans saja yang handle ini."
"Ya udah, Hans yang ngatur."
Besok Hans Jadi ketua Lingkungan , Ketua Wilayah
Meski kadang hanya candaan—atau setidaknya disampaikan
dengan nada bercanda—tetapi rasanya "aneh dan malesi". Sebab, di
baliknya ada realita yang pahit: saat tiba waktunya bekerja, orang-orang yang
menunjuk justru "ilang" atau penuh alasan untuk tidak terlibat.
Pertemuan koordinasi? "Waduh, saya ada acara
keluarga."
Butuh bantuan teknis? "Wah, saya kurang ngerti soal
itu."
Perlu tenaga tambahan? "Maaf ya, saya lagi diluar
kota ."
Tetapi saat acara selesai dan berjalan sukses, semua
tiba-tiba hadir dan ikut merasakan kebanggaan. Saat ada apresiasi, semua ingin
disebut namanya. Tetapi saat ada kritik atau masalah, yang ditunjuk sebagai
"penanggung jawab" lah yang harus menerima semua konsekuensinya—sendirian.
Ini bukan soal tidak mau bekerja keras. Saya siap bekerja
keras. Tetapi saya tidak siap bekerja sendirian sambil dipandang seolah-olah
ini adalah tanggung jawab saya seorang, padahal awalnya ini adalah tanggung
jawab bersama.
4.
Jarak Antara Dogma dan Realita
Ini mungkin yang paling membuat saya gelisah secara
spiritual. Pembicaraan tentang dogma, ajaran gereja, teologi, bisa sangat
"ndakik-ndakik" (tinggi dan rumit). Diskusi bisa berlangsung lama,
mengutip dokumen gereja sana-sini, memperdebatkan interpretasi yang paling
tepat.
Tetapi dalam realitas kehidupan sehari-hari, nilai-nilai dasarnya justru "luput". Semangat "saling membantu satu sama lain" yang begitu sering dikhotbahkan, ada di mana praktiknya? Kasih yang menjadi perintah utama Yesus, di mana wujudnya saat ada yang kesulitan?
Saya bertanya: di mana ajaran Kristus tentang tidak
menghakimi? Di mana praktik koreksi fraternal yang penuh kasih? Di mana
kerendahan hati untuk melihat balok di mata sendiri sebelum melihat selumbar di
mata orang lain?
Jarak antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan
ini menciptakan disonansi kognitif yang sangat melelahkan. Saya merasa seperti
hidup dalam dualisme: Gereja di hari Minggu yang indah dan penuh inspirasi,
versus gereja di hari-hari biasa yang penuh judgment dan ketidakadilan.
5.
Benteng Senioritas
Saya merasakan adanya "gap generasi" yang kaku
dan sulit ditembus. Ada semacam bayangan atau asumsi dari para senior bahwa
pelayanan itu bekerja seperti estafet:
"Kami dulu sudah pernah melakukan ini semua.
Sekarang giliran kaum muda yang melakukannya. Kami sudah capek, sudah waktunya
istirahat."
Seakan ada sistem senioritas yang tidak tertulis, di mana
yang muda harus "membayar" dengan kerja keras mereka sebelum berhak
untuk "istirahat" atau "dilayani" seperti para senior
sekarang.
Yang lebih problematis: ketika kami mencoba bertindak
atau berpendapat berbeda, mencoba membawa cara-cara baru yang lebih sesuai
dengan konteks zaman sekarang, jawabannya sering kali defensif dan menolak:
"Itu tidak sesuai dengan ajaran Gereja."
"Tradisi kita tidak seperti itu."
"Di zaman saya dulu tidak begini caranya."
Pertanyaannya: apakah tradisi itu sesuatu yang hidup dan
berkembang, atau sesuatu yang mati dan harus dipertahankan persis seperti dulu?
Apakah gereja dipanggil untuk relevan dengan zamannya, atau untuk
mempertahankan bentuk-bentuk lama sambil kehilangan esensinya?
Yang membuat saya lebih gelisah: penolakan ini sering
kali dibungkus dengan bahasa spiritual atau doktrinal, seakan-akan setiap
perubahan adalah ancaman terhadap iman. Padahal, jika kita jujur, banyak dari
yang dipertahankan itu bukan soal iman, melainkan soal kenyamanan, soal
kebiasaan, soal tidak mau repot menyesuaikan diri.
Bagian IV: Pergumulan yang Lebih
Dalam—Pertanyaan untuk Gereja
Semua pengalaman ini meninggalkan saya dengan
pertanyaan-pertanyaan besar yang tidak bisa saya abaikan. Pertanyaan-pertanyaan
ini bukan sekadar kritik, tetapi kegelisahan yang lahir dari kerinduan akan
gereja yang lebih otentik, lebih Kristiani dalam arti yang sebenarnya.
Apakah
budaya seperti ini harus terus diturunkan?
Budaya senioritas yang menindas. Budaya menunjuk tanpa
membantu. Budaya menghakimi kesalahan tanpa memberi ruang untuk belajar. Apakah
ini adalah "tradisi" yang harus kita lestarikan? Atau justru ini
adalah dosa struktural yang harus kita akui dan ubah?
Saya khawatir, jika pola ini terus berlanjut, generasi
muda akan pergi. Bukan karena mereka tidak beriman, tetapi karena mereka tidak
tahan dengan strukturnya. Mereka mencari komunitas yang otentik, yang tidak
hanya berbicara tentang kasih tetapi juga mempraktikkannya.
Apakah
Gereja memang seperti ini?
Pertanyaan ini yang paling membuat saya bergumul. Apakah
gereja—sebagai Tubuh Kristus, sebagai komunitas orang beriman—memang seperti
ini? Atau jangan-jangan yang saya alami hanyalah distorsi, penyimpangan dari
ideal yang sebenarnya?
Saya membaca Kisah Para Rasul tentang jemaat perdana yang
"sehati dan sejiwa", yang "tidak ada seorang pun yang
berkekurangan", yang "membagi-bagikan kepada setiap orang sesuai
dengan keperluannya". Saya membaca surat-surat Paulus tentang gereja
sebagai tubuh yang saling bergantung, di mana "jika satu anggota
menderita, semua anggota turut menderita".
Lalu saya melihat realita di sekitar saya, dan saya
bertanya: di mana wujud nyata dari semua ajaran indah itu?
Apakah
ajaran Gereja tentang membebankan yang muda karena yang tua "sudah
pernah"?
Ajaran Yesus sangat jelas: "Siapa yang terbesar di
antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayan." Bukan: siapa yang lebih tua,
berhak untuk dilayani. Bukan: siapa yang sudah capek, boleh berhenti dan
menyuruh yang lain.
Yesus sendiri, di malam terakhir-Nya, berlutut dan
membasuh kaki murid-murid-Nya—termasuk Yudas yang akan mengkhianati-Nya. Dia,
sang Guru dan Tuhan, menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati adalah pelayanan
tanpa pamrih, tanpa batas usia, tanpa akhir.
Jika itu adalah standar yang Kristus tunjukkan, mengapa
dalam praktik gereja kita sering kali terbalik? Mengapa yang lebih senior
merasa berhak untuk "pensiun" dari pelayanan, sementara Kristus
melayani sampai napas terakhir-Nya?
Apakah
ajaran Gereja membenarkan kita menunjuk seseorang yang dianggap mampu, lalu
meninggalkannya bekerja sendirian?
Ajaran Gereja tentang tubuh Kristus sangat indah: setiap
anggota memiliki peran, setiap karunia saling melengkapi, tidak ada yang lebih
penting atau lebih rendah. Tetapi praktiknya? Sering kali kita menumpuk semua
tanggung jawab pada orang yang "capable", sementara yang lain
berpangku tangan.
Lebih parah lagi: saat orang yang ditunjuk itu mengalami
kegagalan atau kesulitan, alih-alih dibantu, justru dihakimi. "Dia kan
yang tanggung jawab. Masa tidak bisa?" Seakan-akan tanggung jawab itu
membebaskan yang lain dari kewajiban untuk peduli dan membantu.
Ini bukan tubuh Kristus. Ini adalah distorsi yang
merusak.
Bagian V: Kegelisahan yang Tetap Menggantung
Saya menulis semua ini bukan untuk mencari pembenaran
atas "kemalasan" saya. Saya juga tidak ingin terdengar seperti anak
muda yang hanya bisa mengeluh tanpa memberi solusi. Tetapi saya merasa perlu
untuk jujur, untuk memberi nama pada apa yang saya rasakan, karena hanya dengan
kejujuran inilah kita bisa mulai berubah.
Kegelisahan saya adalah kegelisahan spiritual. Saya
gelisah karena melihat jarak yang begitu lebar antara ideal dan realita. Saya
gelisah karena takut bahwa gereja—institusi yang seharusnya menjadi saksi kasih
Kristus—justru menjadi tempat yang menghancurkan semangat, yang mematikan
gairah, yang mengasingkan mereka yang sebenarnya paling ingin melayani.
Saya gelisah karena bertanya-tanya: kalau saya sudah
merasa seperti ini, berapa banyak yang lain yang juga merasakan hal yang sama
tetapi memilih diam? Berapa banyak yang sudah pergi karena tidak kuat lagi? Dan
berapa lama lagi gereja akan kehilangan generasi mudanya karena tidak mampu
menjadi rumah yang sesungguhnya?
Tetapi di tengah kegelisahan ini, saya juga tidak ingin
kehilangan harapan. Saya masih percaya bahwa gereja bisa menjadi lebih baik.
Saya masih percaya bahwa komunitas yang saya alami di bulan Oktober—yang
hangat, yang kolaboratif, yang saling menguatkan—adalah mungkin untuk
diwujudkan dalam skala yang lebih luas.
Saya masih percaya bahwa kita bisa belajar untuk lebih
terbuka, untuk lebih rendah hati, untuk lebih otentik dalam menghidupi iman
kita. Saya masih percaya bahwa generasi yang lebih senior dan generasi yang
lebih muda bisa bekerja bersama dengan saling menghormati, bukan dengan sistem
senioritas yang menindas.
Tetapi untuk sampai di sana, kita perlu kejujuran. Kita
perlu mengakui bahwa ada masalah. Kita perlu berhenti berpura-pura bahwa
semuanya baik-baik saja. Kita perlu mulai berbicara dengan terbuka tentang apa
yang tidak beres, tanpa takut dianggap tidak setia atau tidak beriman.
Penutup: Sebuah Undangan untuk Refleksi
Bersama
Tulisan ini adalah kegelisahan saya, tetapi saya menduga
ini bukan hanya kegelisahan saya sendiri. Mungkin Anda yang membaca ini juga
pernah merasakan hal yang serupa. Mungkin Anda juga pernah merasa terasing di
tengah komunitas iman Anda sendiri. Mungkin Anda juga pernah mempertanyakan
apakah pelayanan yang Anda lakukan masih membawa Anda lebih dekat kepada Tuhan,
atau justru sebaliknya.
Jika ya, saya ingin Anda tahu: Anda tidak sendirian.
Kegelisahan Anda valid. Pertanyaan Anda sah.
Dan untuk komunitas gereja yang lebih luas, ini adalah
undangan untuk refleksi bersama:
·
Apakah
kita sudah menjadi komunitas yang sesungguhnya, atau hanya organisasi yang
menjalankan program?
·
Apakah
kita sudah hidup sesuai dengan nilai-nilai yang kita wartakan, atau kita masih
terjebak dalam kemunafikan yang halus?
·
Apakah
kita sudah menjadi rumah yang ramah bagi semua generasi, atau kita masih
mempertahankan struktur yang menindas?
Mari kita berani jujur. Mari kita berani berubah. Bukan
demi reputasi gereja, tetapi demi kesetiaan kita pada Injil yang kita imani.
Karena pada akhirnya, gereja bukanlah gedung, bukan
struktur organisasi, bukan pula tradisi yang kaku. Gereja adalah
kita—orang-orang yang dipanggil untuk menjadi tanda kasih Allah di tengah
dunia. Dan jika kita gagal mengasihi satu sama lain dalam komunitas kita
sendiri, bagaimana dunia akan percaya pada kasih yang kita wartakan?
Ditulis dalam kegelisahan, tetapi juga dalam harapan.

Comments
Post a Comment