Muncul
pertanyaan ketika saya mengikuti gerakan Gejayan memanggil, pada waktu itu
beberapa orator menyuarakan tentang hidup Mahasiswa, buruh, buruh tani dan
warga miskin kota. Dalam orasinya,
mereka menyuarakan tentang bagaimana nasib butuh-buruh dan warga miskin yang
ditindas oleh kepentingan-kepentingan penguasa dan pemodal, upah mereka yang
tidak sesuai dengan kelayakan dan tuntutan kerja yang semakin berat membebani
mereka. Pada waktu orasi disuarakan di depan massa yang sangat banyak, ada satu
hal yang menganjal dalam diri saya yang ingin di suarakan dalam perlawanan ini.
Kegelisahan tersebut adalah terkait dengan Guru Honorer dan Guru kontrak
Yayasan. Hal setiap hari aku lihat, mendengar keluh kesah mereka yang hampir
aku dengarkan hampir setiap hari, bagaimana beratnya menjadi guru kontrak atau
guru honorer. Beban tugas yang berat, seperti mengajar, menyiapkan materi,
urusan managerial seperti membuat silabus, rpp dll sampai tugas menjadi wali
kelas bisa juga ada tambahan perkerjaan lainnya seperti menjadi bendahara
sekolah. Hal itu tidak sebanding dengan upah yang diberikan terkadang untuk
mencukupi kebutuhan hidup harus ditutup dengan tambahan pekerjaan seperti
membuka jasa les-lesan. Perjuangan
seorang guru memang tidaklah mudah, berangkat pagi jam 7 pulang kadang 3 sore,
dan kegiatan sore sampai malam diisi dengan memberikan les-lesan.
Hati ini semakin jengkel, tapi juga lucu juga ketika
mendengar perkataan menteri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy (pada masa kabinet Kerja) pada peringatan hari guru International, 10 Oktober
2019. Beliau berkata "Saya agak yakin, bahwa orang yang pertama
masuk surga itu adalah guru. Kalau sekarang gajinya sedikit, apalagi guru
honorer, syukuri dulu nikmati yang ada, nanti masuk surga," (detiknews, n.d.). Iming-iming masuk surga, seakan-akan permasalahan
yang dihadapi oleh guru honorer dan guru kontrak yayasan adalah sebuah
permasalahan yang dianggap tidak terlalu penting bagi pemerintah. Seakan-akan
ada anggapan bahwa guru cukup diberikan dengan ucapan sebagai pahlawan tanpa
tanda jasa yang nantinya masuk surga. Mungkin, bapak-ibu pemangku kebijakan
belum pernah merasakan menjadi guru, yang harus membanting tulang untuk
memenuhi kehidupan keluarga mereka sehari-hari, dengan upah yang sangat minim. Mereka
tahu hanya memberikan tuntutan pada guru untuk bersikap profesional, karena
guru mempunyai dampak sosial yang tinggi bagi kelangsungan hidup siswa nantinya
dan masa depan mereka. Keadaan seperti ini saya teringat perkataan teman saya
“Generasi yang di didik oleh Guru Honorer adalah generasi yang menari di atas
air mata dan keringat” (Aan Hasibuan, 2019). Guru berusaha keras agar anak
didiknya menjadi orang yang berhasil, guru akan kuatir jika anak didiknya
menjadi orang yang tidak berhasil, paling dekat dan bisa dilihat guru akan
merasa kuatir ketika siswa kesulitan dan gagal dalam mengerjakan ujian. Hal
tersebut akan menjadi beban guru tersebut, dia akan merasa gagal dalam
memberikan materi yang selama ini diajarkan. Namun dibalik perjuangan itu semua
ada tangis dan keringat guru yang selama ini seakan-akan pemerintah dan
pemangku kebijakan menutup mata dengan hal ini. Perjuangan mereka untuk hidup
dengan upah yang tidak layak, beban tugas mengajar dan administrasi tanpa sadar
menyita tenaga dan waktu untuk berkumpul dengan keluarga.
Saya mempunyai harapan yang baru, ketika pergantian
menteri pada masa pemerintahan Jokowi-Maaruf. Saya, ingin menteri-menteri di
isi oleh orang-orang yang mempunyai keahlian sesuai bidangnya dan yang
terpenting berpihak pada rakyat kecil. Namun, apa yang terjadi? Hati saya
merasa kecewa ketika pertama kali melihat susunan menteri yang dipilih oleh
Jokowi –Maaruf. Susunan menurut saya
pribadi terlalu banyak kepentingan di dalamnya, dalam arti susunan menteri di
kabinet Jokowi merupakan bagi-bagi kekuasaan politik. Banyak, posisi di isi oleh orang-orang
politik, sedangkan orang non partai yang menepati posisi menteri adalah orang
yang berada di lingkaran Jokowi. Hal yang menggelitik, posisi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan diisi oleh Nadiem Makarim, seorang CEO GOJEK,
akhirnya di pilih Jokowi untuk mengemban tugas menjadi menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Pada saat ini saya masih bertanya-tanya maksud tujuan dari
pemilihan Nadiem menjadi menteri Pendidikan itu apa? Jokowi, akan membawa
kemana arah pendidikan bangsa ini, tentu saja hal ini ada pertimbangan dan
kepentingan di dalamnya. Namun, sudahlah kita mau apalagi, pemilihan menteri
sudah dipilih dan kita akan menunggu kinerja para menteri itu 5 tahun kedepan.
Semoga Nadiem memberikan yang terbaik bagi pendidikan dan kesejahteraan guru,
terutama guru kontrak maupun guru honorer.
Comments
Post a Comment