Refleksi Ekspektasi Terhadap Timnas dan Hidup

 

Akhir-akhir ini, saya merasa perlu menuangkan unek-unek setelah menyaksikan permainan buruk Timnas Indonesia saat kalah dari China. Sebelum lanjut, saya minta maaf kalau tulisan ini agak berantakan atau logikanya melompat-lompat. Ini cuma curahan hati dari kekecewaan saya, mungkin juga ekspektasi yang terlalu tinggi pada Timnas. Sejujurnya, Timnas kita memang belum siap untuk bersaing di level Asia, dan strategi Shin Tae-yong (STY) sepertinya belum efektif untuk memaksimalkan potensi pemain yang ada.

Kalau dipikir-pikir, sebelum pertandingan ini, saya sangat optimis dengan Timnas. Apalagi setelah proses naturalisasi pemain berkualitas tinggi. Tapi, di balik euforia itu, ada kekhawatiran bahwa strategi STY terlalu mengandalkan pemain lokal yang, menurut saya, masih kurang berkapasitas. Meski begitu, saya tetap tertarik menonton ulang cuplikan pertandingan berkali-kali, mungkin berharap melihat sesuatu yang berbeda. Ekspektasi ini mungkin terbentuk karena komentar positif di media sosial yang mendukung STY, seolah-olah dia bisa membawa Indonesia ke Piala Dunia.

Waktu STY datang, rasanya seperti angin segar bagi sepak bola Indonesia. Setelah masa-masa kelam karena sanksi FIFA, harapan besar muncul lagi, terutama dengan pencapaiannya yang berhasil membawa Timnas lolos ke Piala Asia 2023. Ketika Timnas mengalahkan Nepal 7-0 dan berhasil lolos setelah 16 tahun absen, euforia semakin kuat. Proyek naturalisasi pemain diaspora juga menambah keyakinan saya. Nama-nama seperti Jordi Amat, Sandy Walsh, Elkan Baggott, dan Marc Klok memberi harapan baru untuk Timnas.

Saya semakin cinta dengan sepak bola Indonesia, terutama saat kita terpilih jadi tuan rumah Piala Dunia U-23. Saya dan istri sampai menabung untuk beli tiket dan jersey asli, ingin banget jadi bagian dari pendukung Indonesia di stadion. Tapi sayangnya, Piala Dunia U-23 dibatalkan karena isu politik terkait kehadiran Israel. Saya kecewa berat, terutama kepada Ganjar Pranowo yang kala itu vokal menolak kedatangan Israel. Rasa sakit itu cepat berlalu ketika Erick Thohir terpilih sebagai ketua PSSI, dan harapan saya kembali menyala. Apalagi setelah Indonesia sukses mengundang Argentina untuk bertanding di Jakarta.

Melihat Indonesia bermain bagus melawan Argentina, meski kalah 0-2, rasanya bangga. Harapan kembali naik saat ada pemain diaspora baru seperti Justin Hubner dan Shayne Pattynama. Apalagi setelah Timnas berhasil masuk ke 16 besar Piala Asia, bahkan bersaing dengan negara-negara kuat seperti Jepang. Harapan terus tumbuh, apalagi dengan tambahan pemain seperti Nathan Tjoe-A-On dari Swansea dan kemenangan mengejutkan kita melawan Korea Selatan di Piala Asia U-23.

Tapi, di balik semua harapan ini, ada momen-momen yang membuat saya sadar bahwa ekspektasi tinggi saya terhadap Timnas mungkin terlalu berlebihan. Saat nonton bareng di kafe pertandingan melawan China, saya mulai mempertanyakan keputusan STY yang terlalu mengandalkan pemain lokal, sementara pemain diaspora yang punya kualitas lebih dipinggirkan. Hasilnya, kita kalah 2-1, dan hujatan terhadap STY pun bermunculan di media sosial.

Pada akhirnya, saya mencoba merefleksikan diri. Ekspektasi saya terhadap Timnas ternyata terlalu besar tanpa mempertimbangkan realitas. Mungkin, STY sendiri merasa terbebani oleh ekspektasi yang kita berikan sebagai masyarakat Indonesia. Bukan hanya soal Timnas, tapi dalam hidup sehari-hari juga, ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap orang lain bisa jadi beban buat mereka.

Ekspektasi, baik dalam sepak bola maupun dalam hidup, sering kali jadi tekanan. Kita ingin orang lain mencapai sesuatu sesuai harapan kita, tanpa mempertimbangkan kondisi mereka. Padahal, ekspektasi yang berlebihan itu kadang justru memperberat langkah mereka.

Itulah refleksi sederhana dari saya. Menulis ini sedikit mengurangi kesedihan, dan sekaligus merefleksikan bahwa hidup juga perlu diseimbangkan dengan ekspektasi yang realistis.

 

Comments